Jumat, 23 November 2012

Kisah Wali Songo


Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n

Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n

Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n

Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n

Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n

Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n

Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n

Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Rabu, 14 November 2012

BAGIAN I A. IKHTILAF, SEJARAH DAN SEBAB-SEBAB KEMUNCULANNYA


 Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa‘ di Ka‘bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri. Sengaja kami menempatkan catatan sejarah tersebut untuk membuka kran pembahasan seputar khilafiyah. Tanpa berpanjang-panjang menyusun kalimat sebenarnya dengan membaca kisah tersebut kita bisa memetik pelajaran tentang masalah khilafiyah. Namun demikian ada baiknya kita mengetahui apa itu khilafiyah, bagaimana sejarahnya, macam-macamnya, apa saja sebab-sebab yang melatarbelakanginya, dan bagaimana baiknya kita menyikapinya. Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan dengan ―perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik), dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.
Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu, dan siyasah. Hanya sebuah mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam satu istimbat hukum Islam. Akan sangat sulit, dan mustahil bisa tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Sebuah cita-cita yang akan mendapat banyak benturan, dan sia-sia belaka. Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun As. Ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry. Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya.
Ikhtilaf adalah “kekayaan syari'at Islam”. Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas). Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu, ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini. Bagaimana pun perbedaan adalah suatu kepastian, sunnatullah yang manusia tidak mungkin untuk merubahnya. Allah SWT sendiri telah menetapkan adanya perbedaan itu dalam firmannya:

 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”
 (Q.S. Ar-Rum: 22)

Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang macam-macam secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:

1. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan; dan
2. Ikhtilaf yang bisa dibenarkan.

Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat. Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh masalah kerangka dasar ibadah. Namun, ketika para fuqoha mulai memasuki teknis dan operational yang tidak prinsipil ikhtilaf tidak bisa dibendung kemunculannya.
Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu dan dalam masalah i‘tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, amaliyah kalangan tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.
Ikhtilaf dalam masalah furu adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.((HR Imam Daruquthni)
Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat bahwa Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan karenanya ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak diterangkan secara rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari kesulitan
Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan pendapat atas masalah-malasah furu tersebut.
Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang tidak kita temukan jawabannya secara rinci di dalam al-Qur‘an maupun hadist. Ini kemudian mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang dibenarkan dalam Islam. Sebuah hadis berikut ini memberikan penjelasan kapan dan bagaimana semestinya ijtihad dilakukan: Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepada Muadz,
“Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu? Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah Rasulullah” bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah? Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya? Muadz menjawab:
“Maka saya akan berijtihad (rayi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.”
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya”. (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad. Dalam sabdanya yang lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara. Namun Amr Ibn Nash menolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian Nabi menjawab, “Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala.
Perkara masih dibuka atau ditutupnya pintu ijtihad di masa sekarang membutuhkan tulisan yang panjang, dan tidak akan kami kemukakan pada kesempatan ini. Kami Cuma ingin menggaris bawahi bahwa lantaran ijtihad dari para pendahulu, baik mufasir, fiqoha, dan para pembesar Islam yang lain itulah kemudian ikhtilaf tidak bisa dihindari.
Ikhtilaf berbeda dengan Iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah
para ulama' iftiraq adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul
(pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun
amaliyah.
Salim bin Shalih Al-Marfadi sangat menyayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq ? Demikian juga (penyebabnya adalah pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut ini akan membuat perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq menjadi jelas.

1. Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang
besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk diperselisihkan. Pokokpokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma' atau telah jelas
sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama'ah yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak boleh dicela sebagai yang termasuk firqah binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid'ah-nya pada masalah-masalah berikut :

a. Pada masalah yang bersifat mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari'ah, atau pada pokok syari'ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari'ah.

b. Syaikhul Islam pernah ditanya tentang batasan bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu), beliau menjawab: "Bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu) adalah bid'ah penyimpangannya dari Al-Qur'an dan Sunnah masyhur dikalangan ahli sunnah, seperti bid'ah-nya Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah  [Majmu Fatawa XXXV/414]

2. Ikhtilaf yang diperbolehkan itu bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan
orang yang salah akan diberi pahala apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.

3. Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq menyimpang
serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin. (Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh Nashr Al-Aql dalam muhadharah (ceramah) yang sangat berharga "Mafhumul Iftiraq” kemudian muhadharah itu
dicetak dalam bentuk buku)

B. Sejarah singkat Ikhtilaf
Ikhtilaf di kalangan ummat Islam mulai kentara sejak para sahabat besar berpindah ke berbagai kota. Sebelumnya, sebagaimana diriwayatkan oleh
al- Baghawi di dalam kitabnya Mashabihul Huda bahwa apabila orang Yang berperkara datang menghadap Abu Bakar beliau pun memperhatikan Kitabullah. Jika beliau menemukan hukum yang dimaksudkan, beliu pun menerapkan hukum itu, memutuskan dengan hukum itu. Tapi apabila beliau
tidak mendapatkannya dalam kitabullah, beliu pun memperhatikan Sunnah. Jika
beliau tidak juga mendapatkannya di dalam Sunnah, beliaupun bertanya kepada
para sahabat yang lain.
Kerap kali di hadapannya berkumpul sekumpulan orang-orang yang menerangkan hukum-hukum Rasul, jika tak ada yang menerangkan hukum Rasul, beliau pun mengundang sjabat-sahabat besar dan orang-orang tertentu untuk menetapkan hukum. Maka, pendapat mereka itu beliau jadikan pegangan.
Itulah yang saat ini kita kenal dengan Ijma.
Setelah sahabat-sahabat besar berpindah ke berbagai kota, maka Khilafah menghadapi kesukaran untuk mengumpulkan para ahli. Maka mulailah para shahabat ahli hukum menetapkan hukum secara sendiri-sendiri, dan mulailah
timbul perselisihan paham di antara mereka dalam menetapkan hukum itu.

C. Sebab-sebab Munculnya Ikhtilaf
Di antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak disepakati hukumnya antara lain:

1. Berbeda pengertian dalam mengartikan kata.
Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya secara zhahir-nya Sehingga membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk keduanya. Di titik inilah para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar. Ini merupakan bahasan yang luas, terjadi akrena adanya kata0kata yang jarang digunakan, dan kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Juga adanya kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan huruf mengenai arti kata yang digunakan.

2. Riwayat Hadis
Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di kalangan ahli hadits. Di mana seorang ahli hadits menilai suatu hadits shahih, namun ahli hadits lainnya menilainya tidak shahih. Sehingga ketika ditarik kesimpulan hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli hadits dalam menilainya. Kita tahu, ada hadis yang sampai pada sebagian shahabat, namun tidak sampai kepada sebagian yang lainnya. Atau sampai pada sebagaian shahabat, tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah (argumen), sedangkan kepada lainnya sampai dengan cara dapat
dipertanggungjawabkan untuk dijadikan hujjah. Atau sampai kepada keduanya dari satu jalan, etatapi mereka berlainan perndapat dalam memberi nilai kepada salah seorang rawi yang menyampaikan hadis itu. ini berdasarkan pada perbedaan pendapat menganai cara memberikan nilai kepada perawi-perawi hadis; atau hadis itu sampai kepada keduanya dengan jalan disepakai bersama tetapi untuk mengamalkan hadis seamacam itu, sebagian mereka berpendapat
diperlukan syarat-syarat lain, seperti hadis mursal dan hadis munqathi, sedangkan sebagian mereka tidak mensyaratkannya.

3. Nashih-Manshukh
Adanya ayat atau hadits yang menghapus berlakunya ayat atau hadits yang pernah turun sebelumnya. Dalam hal ini sebagaian ulama berbeda pendapat untuk menentukan mana yang dihapus dan mana yang tidak dihapus.

4. Saling berlawanan dalil mengenai suatu qaidah.
Sebagaimana ulama ada yang menerima dalil mengenai suatu qaidah, sebagian lain menolaknya. Maka kemudian timbul, perbedaan di antara ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku mujmal dan mana yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana yang bersifat umum ('aam) dan mana yang bersifat khusus (khaash).

5. Metodologi pengistimbathan hukum
Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi atau teknik pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati. Misalnya, ada yang menerima syar'u man qablana dan ada yang tidak. Ada yang menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih banyak lagi metode lainnya seperti saddan lidzdzri'ah, qaulu shahabi, istishab, qiyas dan lainnya.

Selain itu, pengaruh kultur budaya setempat, juga mempengaruhi pengistimbathan hukum. Tempat dimana para para fuqaha tinggal sangat mempengaruhi hukum yang dikeluarkan. Contohnya Imam Syafi'i menulis kitabnya yang dinamakan qaulul qadim ketika ia tinggal di Iraq, dan membuat fatwanya yang baru yang dinamakan qaulun jadid saat beliau pindah ke Mesir, karena perbedaan kultur setempat.
Berkaitan dengan tema utama dalam buku ini, maka dapat kita ketahui bersama, kenapa terdapat khilafiyah dalam putusan-putusan hukum, atau kesimpulan-kesimpulan dari lembaga fatwa NU dan Muhammadiyah. Untuk mengetahui lebih jauh tentang NU dan Muhammadiyah, khususnya tentang metodologi hukum kedua Ormas tersebut dalam meng-hukumi suatu masalah fiqh akan dibahas setelah ini.
Namun begitu, sebagai pengantar memasukinya, kiranya perlu kami memberi alasan kenapa kami sertakan pula seluk-beluk seputar dua ormas tersebut. Kami beralasan, bahwa setidaknya dengan mengetahui lebih jauh tentang NU dan Muhammadiyah; bagaimana sejarah beridirinya, dan lembagalembaga apa saja yang ada di dalamnya, serta bagaimana pandangan keagamaannya, maka kita akan semakin paham dengan metodologi yang digunakan dalam pengambilan hukum, untuk selanjutnya memaklumi perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan hukum Islam di antara keduanya.

BAGIAN II SEKILAS TENTANG NU DAN MUHAMMADIYAH


 A. Nahdhatul Ulama
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Sebagaimana ditulis dalam situs resmi NU (www.nu.or.id) diketahui bahwa sejarah berdirinya NU bermula dari keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi. Apa yang terjadi pada masa itu menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, Muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikap kalangan pesantren yang berbeda ini, menyebabkan kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU memikili jaringan yang sangat luas. Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:

· 31 Pengurus Wilayah
· 339 Pengurus Cabang
· 12 Pengurus Cabang Istimewa
· 2.630 Majelis Wakil Cabang
· 37.125 Pengurus Ranting

Jumlah warga NU atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

2. Visi dan Misi
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, yang dijalani, maka AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga terus berkembang setiap lima tahun sekali. Dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Tujuan NU didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah Waljamaah dan menurut salah satu dari Madzhab empat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:

a. Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah waljamaah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masayarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar maruf nahi munkar.

b. Di bidang pendiidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbuddi luhur, perpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan negara.

c. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.

d. Di bidang ekonomi mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembanganya ekonomi kerakyatan.

e. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.

3. Paham Kegamaan NU
Di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama ada yang dikenal dengan istilah Fikrah Nahdhiyah. Yang dimaksud dengan fikrah Nahdhiyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunah yang dijadikan landasar berpikir Nahhaul Ulama (khithah Nahdhiyin) untuk menenutukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah (perbaikan umat).
Dalam merespon persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdhatul Ulama memiliki manhaj Ahlususnnah sebagai berikut:
NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam
bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Ciri-ciri fikrah Nahdhiyah adalah:
a. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan itidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdhatul Ulama tidak tafrits atau ifrath.

b. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.

c. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artiya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah).

d. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon persoalan,

e. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis) artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.

Ide dan konsep Fikrah Nahdhiyah ini pertama kali dianjurkan oleh K.H. Achmad Siddiq pada 1969 yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khittah pada tahun 1984. Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

B. MUHAMMADIYAH
1. Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya
Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal
8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran Muhammadiyah ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada kaum adam,
K.H Ahmad Dahlan juga memberi pelajaran kepada kaum Hawa, ibuibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Tahun 1913 sampai tahun 1918 K.H Ahmad Dahlan telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
K.H. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh
KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:

Yang Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

2. Visi dan Misi Organisasi
Visi Muhammadiyah adalah:
Tertatanya manajemen dan jaringan guna meningkatkan efektifitas kinerja Majelis menuju gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju, profesional, modern, dan otoritatif sebagai landasan yang kokoh bagi peningkatan kualitas Persyarikatan dan amal usaha. Sementara itu misi Muhammadiyah yaitu:

a. Mewujudkan landasan kerja Majelis yang mampu memberikan ruang gerak yang dinamis dan berwawasan ke depan

b. Revitalisasi peran dan fungsi seluruh sumber daya majelis

c. Mendorong lahirnya ulama tarjih yang terorganisasi dalam sebuah institusi yang lebih memadai

d. Membangun model jaringan kemitraan yang mendukung terwujudnya gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju, profesional, modern, dan otoritatif
e. Menyelenggarakan kajian terhadap norma-norma Islam guna mendapatkan kemurniannya, dan menemukan substansinya agar didapatkan pemahaman baru sesuai dengan dinamika perkembangan zaman

f. Menggali dan mengembangkan nilai-nilai Islam, serta menyebarluaskannya melalui berbagai sarana publikasi

3. Pandangan Keagamaan Muhammadiyah
a. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‗alamin di muka bumi ini.
Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.

b. Misi da‘wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104 sebagaimana sudah disebutkan di atas. Kewajiban dan panggilan da‘wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110:

Yang Artinya:
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da‘wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-maruf wa al-nahy „an al-munkar (mengajak kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da‘wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.

c. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu‘amalat
dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya:
”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah).
Karena itu, melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yangberlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.

d. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasarbebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat berjuang menghadapi tantangan (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar berjuang melawan musuh (al-jihad li al-muaradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia
(al-akhlaq alkarimah).
Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ala al-nas
di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia.
Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak madaniyah tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.