Selasa, 20 Agustus 2013
Jumat, 23 November 2012
Kisah Wali Songo
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan
Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik
Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan
Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga.
Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim
yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari
awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua
institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam
berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati
bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang,
Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
“sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran
yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang
menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang
disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang
mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami
masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut
sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia
bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang
ulama Persia, bernama
Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein,
cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di
Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah
menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat
(dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa
cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni
desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa
Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika
itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan
pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga
menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru
bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam
Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran,
tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung
Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel
masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik.
Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia
melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya,
seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang
raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang
adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan
puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel
turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang
dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian
disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun
1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara
sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan
isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia
meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat
berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren
di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit
adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai
tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan
pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka
pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut
Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai
Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik
yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari
Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak
tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin
tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun.
Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling
gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal
sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean,
Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi
Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa
namun syarat dengan ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya
bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke
Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang,
sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima
Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said.
Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama
itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah
tinggal di Cirebon
dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya
dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga
kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli
dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan
kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan
Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan
mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota
berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang
(sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman
masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara
Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama
sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai
negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan
ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon
ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan
Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur
dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada
Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali
dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian
terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan
sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan
dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan
Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang
bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan
Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang
Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan
Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut
adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula
sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom
dan Kinanti.
Rabu, 14 November 2012
BAGIAN I A. IKHTILAF, SEJARAH DAN SEBAB-SEBAB KEMUNCULANNYA
Suatu
ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk
menggantungkan Kitab Al-Muwaththa‘ di Ka‘bah dan memaksa agar seluruh umat Islam
mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: Jangan engkau lakukan itu, karena
para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu‟(cabang),
apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri. Sengaja kami
menempatkan catatan sejarah tersebut untuk membuka kran pembahasan seputar khilafiyah. Tanpa
berpanjang-panjang menyusun kalimat sebenarnya dengan membaca kisah tersebut
kita bisa memetik pelajaran tentang masalah khilafiyah. Namun
demikian ada baiknya kita mengetahui apa itu khilafiyah,
bagaimana sejarahnya, macam-macamnya, apa saja sebab-sebab yang
melatarbelakanginya, dan bagaimana baiknya kita menyikapinya. Khilafiyah
dalam
bahasa kita sering diartikan dengan ―perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap.
Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak
disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan
hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah
juga
melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik),
dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya,
ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada
tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi
tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.
Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan
pendapat) dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-masalah pandangan
agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu
keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu
pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu‟, dan siyasah. Hanya
sebuah mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam
satu istimbat hukum Islam. Akan sangat sulit, dan mustahil bisa tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam
masalah-masalah tersebut. Sebuah cita-cita
yang akan mendapat banyak benturan, dan sia-sia belaka.
Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun
As. Ketika mendapatkan Bani Israil menyembah
anak lembu buatan Samiry. Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat
Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang
meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri
yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya.
Ikhtilaf adalah “kekayaan syari'at
Islam”. Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan
mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu
fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan
berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil
istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya,
ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya
(Qiyas). Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat
dalam masalah ushul, furu‟, ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar
ummat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar ummat
Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan menyebarluaskan
agama Allah di muka bumi ini. Bagaimana pun perbedaan adalah suatu kepastian,
sunnatullah yang manusia tidak mungkin untuk merubahnya. Allah SWT sendiri
telah menetapkan adanya perbedaan itu dalam firmannya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”
(Q.S. Ar-Rum: 22)
Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang
macam-macam secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:
1. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan; dan
2. Ikhtilaf yang bisa dibenarkan.
Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang
prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling dasar,
tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah
terjadi perbedaan pendapat. Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh masalah kerangka dasar ibadah. Namun,
ketika para fuqoha mulai memasuki teknis dan operational yang tidak prinsipil ikhtilaf tidak bisa dibendung kemunculannya.
Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf
dalam masalah furu‟ dan dalam masalah i‘tiqod yang tidak prinsip,
seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh,
amaliyah kalangan tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.
Ikhtilaf dalam masalah furu‟ adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah
kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu
abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah
mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka
janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.((HR Imam Daruquthni)
Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat
bahwa Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa
diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan
menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan karenanya
ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak diterangkan secara
rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari kesulitan
Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan
pendapat atas masalah-malasah furu‟ tersebut.
Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang
tidak kita temukan jawabannya secara rinci di dalam al-Qur‘an maupun hadist.
Ini kemudian mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh
dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur‘an dan
Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang dibenarkan dalam Islam. Sebuah
hadis berikut ini memberikan penjelasan kapan dan bagaimana semestinya ijtihad
dilakukan: Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman,
beliau bertanya kepada Muadz,
“Bagaimana kamu akan
memutuskan perkara yang dibawa ke
hadapanmu? Muadz menjawab: “Saya putuskan
berdasarkan Kitabullah Rasulullah” bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah? Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila
kamu tidak mendapatkannya dalam
Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya? Muadz menjawab:
“Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.”
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada
Muadz dan bersabda:
“Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang
menyenangkan hati Rasulul-Nya”. (HR Imam
Tirmidzi dan Abu Dawud).
Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah
masih hidup. Dan Rasulullah sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad.
Dalam sabdanya yang lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara.
Namun Amr Ibn Nash menolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian Nabi
menjawab, “Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian
ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan apabila
hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya salah
maka mendapat satu pahala.
Perkara masih dibuka atau ditutupnya pintu ijtihad
di masa sekarang membutuhkan tulisan yang panjang, dan tidak akan kami
kemukakan pada kesempatan ini. Kami Cuma ingin menggaris bawahi bahwa lantaran
ijtihad dari para pendahulu, baik mufasir, fiqoha, dan para pembesar Islam yang
lain itulah kemudian ikhtilaf tidak bisa dihindari.
Ikhtilaf berbeda dengan Iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah
yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah
para ulama' iftiraq
adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul
(pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam
aqidah ataupun
amaliyah.
Salim bin Shalih Al-Marfadi sangat menyayangkan,
ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang
fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa
terjadi iftiraq ? Demikian juga
(penyebabnya adalah pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang
diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut ini akan membuat
perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq menjadi jelas.
1. Iftiraq tidak akan terjadi kecuali
pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang
besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk
diperselisihkan. Pokokpokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma' atau telah jelas
sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama'ah yang tidak lagi diperselisihkan
(oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak
boleh dicela sebagai yang termasuk firqah binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid'ah-nya pada masalah-masalah
berikut :
a. Pada masalah yang bersifat
mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari'ah, atau pada pokok
syari'ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia
terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari'ah.
b. Syaikhul Islam pernah ditanya
tentang batasan bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu),
beliau menjawab: "Bid'ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa
nafsu) adalah bid'ah penyimpangannya dari Al-Qur'an dan Sunnah masyhur dikalangan ahli
sunnah, seperti bid'ah-nya Khawarij, Rafidhah,
Qadariyah, Murji'ah [Majmu Fatawa XXXV/414]
2. Ikhtilaf yang diperbolehkan itu
bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan
orang yang salah akan diberi pahala apabila ia
mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran
dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.
3. Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman
Allah, dan semua iftiraq menyimpang
serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah
seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin. (Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh Nashr Al-Aql dalam
muhadharah (ceramah) yang sangat
berharga "Mafhumul Iftiraq” kemudian muhadharah itu
dicetak dalam bentuk
buku)
B. Sejarah singkat Ikhtilaf
Ikhtilaf di kalangan ummat Islam mulai kentara sejak para sahabat besar berpindah
ke berbagai kota.
Sebelumnya, sebagaimana diriwayatkan oleh
al- Baghawi di dalam kitabnya Mashabihul Huda bahwa apabila orang Yang berperkara
datang menghadap Abu Bakar beliau pun memperhatikan Kitabullah. Jika beliau
menemukan hukum yang dimaksudkan, beliu pun menerapkan hukum itu, memutuskan
dengan hukum itu. Tapi apabila beliau
tidak mendapatkannya dalam kitabullah, beliu pun
memperhatikan Sunnah. Jika
beliau tidak juga mendapatkannya di dalam Sunnah,
beliaupun bertanya kepada
para sahabat yang lain.
Kerap kali di hadapannya berkumpul sekumpulan
orang-orang yang menerangkan hukum-hukum Rasul, jika tak ada yang menerangkan
hukum Rasul, beliau pun mengundang sjabat-sahabat besar dan orang-orang
tertentu untuk menetapkan hukum. Maka, pendapat mereka itu beliau jadikan
pegangan.
Itulah yang saat ini kita kenal dengan Ijma‟.
Setelah sahabat-sahabat besar berpindah ke berbagai
kota, maka Khilafah menghadapi kesukaran untuk
mengumpulkan para ahli. Maka mulailah para
shahabat ahli hukum menetapkan hukum secara sendiri-sendiri, dan
mulailah
timbul perselisihan paham di antara mereka dalam
menetapkan hukum itu.
C. Sebab-sebab Munculnya
Ikhtilaf
Di antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi
masalah yang tidak disepakati hukumnya antara lain:
1. Berbeda pengertian dalam
mengartikan kata.
Adanya ayat yang berbeda satu
dengan lainnya secara zhahir-nya Sehingga membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk
keduanya. Di titik inilah para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar.
Ini merupakan bahasan yang luas, terjadi akrena adanya kata0kata yang jarang
digunakan, dan kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Juga adanya
kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan huruf mengenai arti kata yang
digunakan.
2. Riwayat Hadis
Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di
kalangan ahli hadits. Di mana seorang ahli hadits menilai suatu hadits shahih, namun
ahli hadits lainnya menilainya tidak shahih. Sehingga ketika ditarik kesimpulan
hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli hadits dalam menilainya. Kita
tahu, ada hadis yang sampai pada sebagian shahabat, namun tidak sampai kepada
sebagian yang lainnya. Atau sampai pada sebagaian shahabat, tetapi tidak
menjadikannya sebagai hujjah (argumen), sedangkan kepada lainnya sampai dengan cara dapat
dipertanggungjawabkan untuk dijadikan hujjah. Atau sampai kepada keduanya
dari satu jalan, etatapi mereka berlainan perndapat dalam memberi nilai kepada
salah seorang rawi yang menyampaikan hadis itu. ini berdasarkan pada perbedaan
pendapat menganai cara memberikan nilai kepada perawi-perawi hadis; atau hadis
itu sampai kepada keduanya dengan jalan disepakai bersama tetapi untuk mengamalkan
hadis seamacam itu, sebagian mereka berpendapat
diperlukan syarat-syarat lain, seperti hadis mursal dan hadis munqathi, sedangkan sebagian mereka
tidak mensyaratkannya.
3. Nashih-Manshukh
Adanya ayat atau hadits yang menghapus berlakunya
ayat atau hadits yang pernah turun sebelumnya. Dalam hal ini sebagaian ulama berbeda
pendapat untuk menentukan mana yang dihapus dan mana yang tidak dihapus.
4. Saling berlawanan dalil
mengenai suatu qaidah.
Sebagaimana ulama ada yang menerima dalil mengenai
suatu qaidah, sebagian lain menolaknya. Maka kemudian timbul, perbedaan di antara
ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku mujmal
dan mana yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana yang bersifat umum ('aam) dan mana yang bersifat khusus (khaash).
5. Metodologi pengistimbathan
hukum
Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi
atau teknik pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati.
Misalnya, ada yang menerima syar'u man qablana dan ada yang tidak. Ada
yang menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih banyak lagi
metode lainnya seperti saddan lidzdzri'ah, qaulu shahabi, istishab, qiyas dan lainnya.
Selain itu, pengaruh kultur budaya setempat, juga
mempengaruhi pengistimbathan hukum. Tempat dimana para para fuqaha tinggal sangat
mempengaruhi hukum yang dikeluarkan. Contohnya Imam Syafi'i menulis kitabnya
yang dinamakan qaulul qadim ketika ia tinggal di Iraq, dan membuat fatwanya yang
baru yang dinamakan qaulun jadid saat beliau pindah ke Mesir, karena perbedaan kultur setempat.
Berkaitan dengan tema utama dalam buku ini, maka
dapat kita ketahui bersama, kenapa terdapat khilafiyah
dalam putusan-putusan hukum, atau kesimpulan-kesimpulan dari
lembaga fatwa NU dan Muhammadiyah. Untuk mengetahui lebih jauh tentang NU dan
Muhammadiyah, khususnya tentang metodologi hukum kedua Ormas tersebut dalam
meng-hukumi suatu masalah fiqh akan dibahas setelah ini.
Namun begitu, sebagai pengantar memasukinya,
kiranya perlu kami memberi alasan kenapa kami sertakan pula seluk-beluk seputar
dua ormas tersebut. Kami beralasan, bahwa setidaknya dengan mengetahui lebih
jauh tentang NU dan Muhammadiyah; bagaimana sejarah beridirinya, dan
lembagalembaga apa saja yang ada di dalamnya, serta bagaimana pandangan keagamaannya,
maka kita akan semakin paham dengan metodologi yang digunakan dalam pengambilan
hukum, untuk selanjutnya memaklumi perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan
hukum Islam di antara keduanya.
BAGIAN II SEKILAS TENTANG NU DAN MUHAMMADIYAH
A. Nahdhatul Ulama
1. Sejarah Berdiri dan
Perkembangannya
Sebagaimana ditulis dalam situs resmi NU
(www.nu.or.id) diketahui bahwa sejarah berdirinya NU bermula dari keterbelakangan,
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi. Apa yang terjadi pada masa itu menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke
mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, Muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas
tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari
kaum modernis di Indonesia,
baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di
bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran
warisan peradaban tersebut. Sikap kalangan pesantren yang berbeda ini,
menyebabkan kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di
Yogyakarta 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam
Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan
kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat
dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa
perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai Kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi
Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU memikili jaringan yang
sangat luas. Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
meliputi:
· 31 Pengurus
Wilayah
· 339 Pengurus
Cabang
· 12 Pengurus
Cabang Istimewa
· 2.630 Majelis
Wakil Cabang
· 37.125 Pengurus
Ranting
Jumlah warga NU atau basis pendukungnya
diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian
besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas
yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu
mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka
memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat
pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran,
sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa
banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor
pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga
cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis
intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas
sosial yang terjadi selama ini.
2. Visi dan Misi
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, yang
dijalani, maka AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) NU juga terus
berkembang setiap lima
tahun sekali. Dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali (2004) disebutkan:
Tujuan NU didirikan adalah berlakunya ajaran Islam
yang menganut paham Ahlussunah Waljamaah dan menurut salah satu dari Madzhab empat untuk mewujudkan tatanan
masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan
umat. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut:
a. Di bidang agama, mengupayakan
terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunah waljamaah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masayarakat dengan
melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma‟ruf nahi munkar.
b. Di bidang pendiidikan,
pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam
untuk membina umat agar menjadi Muslim yang takwa, berbuddi luhur, perpengetahuan
luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan negara.
c. Di bidang sosial,
mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia.
d. Di bidang ekonomi
mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan
berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembanganya
ekonomi kerakyatan.
e. Mengembangkan usaha-usaha
lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.
3. Paham Kegamaan NU
Di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama ada yang
dikenal dengan istilah Fikrah Nahdhiyah. Yang dimaksud dengan fikrah Nahdhiyah adalah kerangka berpikir
yang didasarkan pada ajaran Ahlussunah yang dijadikan landasar berpikir Nahhaul
Ulama (khithah Nahdhiyin) untuk menenutukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah
(perbaikan umat).
Dalam merespon persoalan baik yang berkenaan dengan
persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdhatul Ulama memiliki manhaj Ahlususnnah sebagai berikut:
NU menganut paham Ahlussunah
Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam
bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih
mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam
bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid
Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Ciri-ciri fikrah Nahdhiyah adalah:
a. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya
NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan i‟tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai
persoalan. Nahdhatul Ulama tidak tafrits atau ifrath.
b. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya
NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara
pikir, dan budayanya berbeda.
c. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif),
artiya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah).
d. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya
NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon persoalan,
e. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis)
artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang
telah ditetapkan oleh NU.
Ide dan konsep Fikrah
Nahdhiyah ini pertama kali dianjurkan oleh K.H. Achmad Siddiq
pada 1969 yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khittah pada tahun 1984.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan
kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali
gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
B. MUHAMMADIYAH
1. Sejarah Kelahiran dan
Perkembangannya
Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau
yang lebih dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada
tanggal
8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran
Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pegawai kesultanan
Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat
Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan
yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena
itu beliau memberikan pengertian keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran Muhammadiyah ditolak, namun berkat
ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.
Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam
waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya
kepada kaum adam,
K.H Ahmad Dahlan juga memberi pelajaran kepada kaum
Hawa, ibuibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari
pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
Tahun 1913 sampai tahun 1918 K.H Ahmad Dahlan telah
mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah
lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek
School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua,
laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya
dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum
perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah
Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
K.H. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun
1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan
rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh
KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah
hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres
Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan Muhammadiyah adalah
sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah
adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun
tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan
ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi
dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang
ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan
kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Yang Artinya:
Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara
teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha
dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna
pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak positif
dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
2. Visi dan Misi
Organisasi
Visi Muhammadiyah adalah:
Tertatanya manajemen dan jaringan guna meningkatkan
efektifitas kinerja Majelis menuju gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju,
profesional, modern, dan otoritatif sebagai landasan yang kokoh bagi
peningkatan kualitas Persyarikatan dan amal usaha. Sementara itu misi
Muhammadiyah yaitu:
a. Mewujudkan landasan kerja
Majelis yang mampu memberikan ruang gerak yang dinamis dan berwawasan ke depan
b. Revitalisasi peran dan fungsi
seluruh sumber daya majelis
c. Mendorong lahirnya ulama
tarjih yang terorganisasi dalam sebuah institusi yang lebih memadai
d. Membangun model jaringan
kemitraan yang mendukung terwujudnya gerakan tarjih dan tajdid yang lebih maju,
profesional, modern, dan otoritatif
e. Menyelenggarakan kajian
terhadap norma-norma Islam guna mendapatkan kemurniannya, dan menemukan
substansinya agar didapatkan pemahaman baru sesuai dengan dinamika perkembangan
zaman
f. Menggali dan mengembangkan
nilai-nilai Islam, serta menyebarluaskannya melalui berbagai sarana publikasi
3. Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah
a. Muhammadiyah dalam melakukan
kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia
kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai
ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi
rahmatan lil-‗alamin di muka bumi ini.
Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para
Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah,
penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat
manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu
diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan
misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
b. Misi da‘wah Muhammadiyah yang
mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak
didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104 sebagaimana
sudah disebutkan di atas. Kewajiban dan panggilan da‘wah yang luhur itu menjadi
komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah
sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana
pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110:
Yang Artinya:
”Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran
Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif
dan multiaspek itu melalui da‘wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma‟ruf wa al-nahy „an al-munkar (mengajak kepada
yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh
keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da‘wah yang demikian
mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional;
yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan,
kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta
keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama,
dan lain-lain.
c. K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid
yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan
perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang
Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan
tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan
akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah
mu‘amalat
dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang
menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain
oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya:
”Sesungguhnya Allah
mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang
memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi
Hurairah).
Karena itu, melalui Muhammadiyah telah diletakkan
suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan
yangberlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang
mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang
berkemajuan dan berkeadaban.
d. Dalam pandangan Muhammadiyah,
bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan
merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif
manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan
baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan
fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki
keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan
spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,
sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan,
kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam
segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu
bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah
persaingan pasarbebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat berjuang menghadapi
tantangan (al-jihad li
al-muwajjahat) lebih dari sekadar berjuang melawan musuh (al-jihad li al-mu‟aradhah). Masyarakat Islam yang
dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat
madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah,
demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia
(al-akhlaq alkarimah).
Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ala al-nas
di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat
dunia.
Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
yang bercorak madaniyah tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau
utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh
kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban
umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan
(ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai
kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif
berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih
berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki
kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan
kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi
yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup.
Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku
yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
Langganan:
Postingan (Atom)