memakluminya. Di sini, penulis tidak ingin
menunjukkan mana yang terkuat dari dua pendapat tersebut. Penulis cuma ingin
memaparkan dasar-dasar yang menjadi hujjah NU maupun Muhammadiyah dalam
mengistimbathkan hukum.
Adapun masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan
di sini barangkali masih sangat jauh untuk mengatakan lengkap, mulai dari
masalah muamalah, ibadah, siayasah. Untuk melakukan penulisan secara
konprehenship penulis merasa belum cukup mampu, selain juga membutuhkan waktu
serta bahan penelitian yang tidak sedikit. Masalah-masalah fiqih yang akan
dipaparkan di sini hanyalah masalah-malasah yang sering menjadi bahan diskusi,
yang terkadang mengarah sampai pada perdebatan yang tidak sehat.
Masalah-masalah fiqih tersebut, yaitu:
a. Niat shalat
b. Shalat Jumat
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah
d. Shalat Tarawih
e. Dzikir dengan suara keras
f. Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal
g. Hal yang membatalkan wudhu
h. Tawasul
i. Tahlil
j. Rokok
Sebelum dipaparkan lebih rinci tentang masalah-masalah
tersebut, barangkali lebih enak jika kami berikan gambaran awal di mana titik
perbedaan-perbedaan
pendapatnya.
a. Niat Shalat: Kaum Nadhdzihiyin berpendapat bahwa
niat sholat itu sunnah dilafalkan dengan ucapan ―Ushally…sedangkan Muhammadiyah berpendapat
bahwa niat sholat itu di hati, tidak perlu diucapkan.
b. Shalat Jum‘at: Di Masjid-masjid di mana
jama‘ahnya mayoritas warga NU,
shalat Jum‘at didirikan dengan dua adzan, ditambah
dengan petugas yang menjadi Ma‘ashiral. Sementara di masjid-masjid di mana Muhammadiyah
menjadi basis warganya, maka shalat Jum‘at biasanya diadakan dengan satu kali
adzan dan tanpa Ma‘ashiral.
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah
berpendapat qunut Subuh bukan merupakan sesuatu yang disunnahkan atau yang diwajibkan
sedangkan NU menganggapnya sebagai Sunnah Ab‘ad. NU juga berpendapat bahwa
Qunut Nazilah dan Qunut Witir adalah sunnah, tapi Muhammadiyah berpendapat
bahwa Qunut Subuh dan Witir bukan suatu amalan sunnah.
d. Shalat Tarawih: mengenai Shalat Tarawih
Muhammadiyah berpendapat dikerjakan 8 Raka‘at di tambah Witir 3 Raka‘at,
sedangkan NU melakukan Shalat Witir 20 Raka‘at ditambah 3 Raka‘at Witir.
e. Dzikir dengan Suara Keras: Seusai shalat jama‘ah
di kalangan NU baisanya dilakukan dzikir bersama dengan suara keras, sementara
di kalangan Muhammadiyah tidak demikian, dzikir ba‘da shalat dilakukan sendiri-sendiri
dan dengan suara rendah. Dalam NU juga ada tradisi menyuarakan dzikir atau
puji-pujian sebelum shalat berjama‘ah di masjid. Juga sebuah tradisi yang
dikenal dengan sebutan istighasah. Sementara di Muhamamdiyah tidak ada
kebiasaan tersebut.
f. Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal: sudah
sering terjadi perbedaan waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri di antara NU dan
Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan perbedaan metodologi yang mereka gunakan
untuk menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal.
g. Tawassul: tawassul berasal dari kata Wasilah, perantara. Tawassul berarti mendekatkan
diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau
mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Tawasul merupakan di antara amaliah
warga NU yang terkenal. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa berdoa melalui perantara
atau dengan ber-tawassul adalah tidak boleh hukumnya.
h. Tahlilan: Tahlilan juga salah satu Amaliyah kaum
Nadhiyin untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. NU berpendapat bahwa
Tahlil itu justru dianjurkan, sementara Muhammadiyah sebaliknya, tidak membolehkannya,
disebabkan ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya.
h. Masalah Rokok: Muhammadiyah dalam putusan
Tarjihnya yang belum lama ini dikeluarkan, dengan berani telah mengharamkan
rokok. Sementara NU dengan sekian dasar dan dalil pula menghukumi rokok dengan
makruh.
A. Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat
bahwa niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya
muncul dalam
menjawab pertanyaan, apakah niat shalat perlu
dilafalkan atau tidak, dan apa hukumnya melafalkan niat dalam shalat?
1. Nahdhatul Ulama
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul
ihram sudah menjadi kebiasaan warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan
kalimah “ushalli” yang
artinya ―aku berniat melakukan shalat. Kalau yang
akan dikerjakan shalat
shubuh maka lafadh niatnya yang lengkap menjadi ―Ushalli fardla subhi rak‟ataini mustaqbilal kiblati ada‟an lillahi ta‟ala (Saya berniat melakukan shalat fardlu subuh dzuhur dua empat raka‘at dengan menghadap kiblat
dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).
Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram,
demikian Cholil Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul
Masa‘il PBNU dalam situs
resmi NU, menurut kesepakatan para pengikut mazhab
Imam Syafi‘iy (Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal
(Hanabilah) adalah
sunnah. Hal ini dikarena melafalkan niat sebelum
takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih
khusyu‘ dalam melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari
kehati-hatian. Sebab, jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak
sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya
shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa
yang diucapkan oleh mulut itu (shalat Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu
mengingatkan hati.
Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati
sepanjang niatnya itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan
pelafadzan niat shalat, Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia
menambahkan, bahwa menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut
Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram
tidak disyari‘atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap
niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena
penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan
niat shalat sebelum takbir
adalah bid‘ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang
yang
terkena penyakit was-was. Dasar atau argumen NU
selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafalan niat dalam suatu ibadah wajib
yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
Dari Anas r.a.
berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat
itu bukan untuk ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah
haji. Namun demikian, menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut
tidak berarti selain haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau
dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal
ini. Namun demikian, masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah
itu disyaratkan empat hal yaitu,
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang
diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh,
niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di
masjid. Kedua, untuk
membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara
shalat Dzuhur dan shalat Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak
termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad
dalam ibadah hajinya, maka
hukum melafalkan niat adalah sunnah. Fatwa sunnah
melafalkan niat dari NU juga dikuatkan dengan pendapat Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj:
Disunnahkan melafalkan
niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu‟-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar
dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat. Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat
(Talaffudz Binniyah) juga berdasar kepada
al-Qur‘an surat
ayat (disunnahkannya melafalkan niat Ayat–ayat Al-Qur‘an berikut:
Yang Artinya:
Tidaklah seseorang itu
mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada
malaikat pencatat amal
kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Artinya:
Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya.
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.
dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan
rencana jahat mereka akan hancur
.(Q.S Fathir: 10)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan
yang baik itu ialah kalimat tauhid yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula
yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua perkataan
yang baik yang diucapkan karena Allah. Perkataan baik dan amal yang baik itu
dinaikkan untuk
diterima dan diberi-Nya pahala. Melafalkan niat
dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat amalnya oleh Malaikan
pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima
oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan
lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb). Hadits-Hadist
lain yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau
berkata: “Pada suatu
hari Rasulullah Saw.
Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha.
menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatupun”. Mendengar itu
Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw.
mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits Riwayat Bukhari
dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada
di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah
“sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama
Rasulullah Saw., maka
ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor
kambing lalu beliau
menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah
Maha Besar, Ya Allah,
inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban di antara
ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa
Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz
binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun menyembelih
qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi
melafalkan niat, menurut Fuqoha kaum NU adalah untuk mengingatkan hati agar
lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu‘an.
Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan
dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
2. Muhammadiyah
Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah,
pada pembahasan masalah shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur‘an
dan hadis. Berkaitan dengan tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist
yang diletakkan dalam pendahuluan HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits dari
Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat".
(HR. al-Bukhari).
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi
Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang
tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para
shahabat Nabi melihhat
Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat. Sejauh
ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara rinci
berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafalkan niat shalat. Dalam
HPT hanya disebutkan bahwa :
“bila kamu hendak menjalankan shalat,
maka bacalah: "Allahu Akbar" , dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat
kedua belah tanganmu sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka)
shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa
Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah
tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam
shalat menurut Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah
6:
Yang Artinya:
"Dan tidaklah
mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas
kepadaNya daam menjalankan Agama".
Juga hadis rasulullah:
“Sesungguhnya (sahnya)
amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari
dan
Muslim)
Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada
warganya untuk melafalkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan amalan
anggota tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan
niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
Oleh karena itu melafalkan niat, bagi Muhammadiyah
bukanlah sesuatu yang disunnahkan. Dalil dari fatwa ini jelas, bahwa melafalkan
niat tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin,
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) saat memberikan materi ―Ibadah
Praktis Perspektif Muhammadiyah pada acara
Baitul Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin
mengatakan, bid‘ah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara
shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam
hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan
perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu
pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya
tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya
melafalkan niat shalat adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati
setiap orang, maka niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang
tempatnya di hati. Dan
tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah
haji dan yang lainnya.
Berkaitan dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama
NU dijadikan dalil bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji,
maka pihak yang menolak disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat
menganggap bahwa apa yang dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan
yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena
talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri
merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.
B. Shalat Jum’at
Shalat jum‘at adalah ibadah fardhu ‗ain bagi
laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan
ulama fiqih baru muncul pada tata cara pelaksanaannya. Kita tidak tentu tidak
terkejut ketika shalat Jumat di kampung orang lain, yang mana cara
pelaksanaannya berbeda dengan shalat jumat di kampung kita. Dan kita tak
perlulah terburu-buru menganggap bahwa
shalat Jumat di kampung ―B salah, penuh bid‘ah, atau telah keluar dari syariat, hanya karena
berbeda pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang
memiliki massa terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang
berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut,
antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan satu kali
atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah
petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:
a. Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah
berpendapat bahwa adzan Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke
mimbar dan menguapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum‘at dilakukan
dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar dan
mengucapkan salam.
b. NU berpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat
adalah sunnah, sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyah tidak
menganggapnya bagian dari sunnah.
c. Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya
memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.
Memang, kita tidak bisa seketika menyimpulkan;
misal jika di sebuah masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti
masjid tersebut di kuasai warga NU, dan sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu
kali berarti ―dikuasai warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya
mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin,
khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu
persatu, bukan dengan maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita
semakin dapat
memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan
shalat Jumat.
1. Muhammadiyah
a. Adzan Jumat
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah
tidak diterangkan secara rinci mengenai cara penyelanggaraan shalat Jumat.
Demikian pula mengenai pendapat di sekitar shalat Jumat, seperti mengenai
berapa kali adzan, cara penyampain khutbah, maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam memutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat
jumat, tarjih menyatakan: ―Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka
adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun dari mimbar maka berqamatlah.
Dasar dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat
dalam HPT adalah hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat
Bukhari, Nasai dan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a,
yang berkata: “Adapun
seruan pada hari Jum‟ah itu pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada
masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar
r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka
beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana
pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang
telah berlaku pada masa Rasululah saw. Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah
Utsman tidak dilanjutkan atau ditiru oleh Muhammadiyah.
Perlu kami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah
tidak memberi keterangan yang lebih jauh berkait pengambilan hukum ini. Namun,
penulis perlu menambahkan alasan-alasan Ulama lain yang sependapat dengan Muhammadiyah
berkaitan masalah adzan Jumat.
Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama
karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin
banyak jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau
hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya
waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat
lainnya. Oleh karena itu, beliau memasukkan shalat Jum‘at ke dalamnya dan
menetapkan kekhususan Jum‘at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi‟ah berpendapat bahwa kondisi sekarang dianggap sudah
tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada
seorang pun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti mendengar adzan
Jum‘at dari menara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah
dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah
tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa,
melakukan adzan Jumat sama seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini termasuk di dalam
tashiilul haashil
(berusaha mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan
ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahan atas sunnah
yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yang membenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkan dengan
mencermati lagi sejarah, di Mana Ali bin Abi Thalib r.a ketika berada di Kuffah merasa cukup dengan sunnah
Rasulullah saw tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. hal ini seperti yang diungkap di dalam Tafsir al-Qurthubi.
b. Shalat Qabliyah
Jumat
Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat pembahasan
khusus mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih
berkaitan dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap
masalah shalat qabliyah Jumat.
Shalat qabliyah adalah shalat yang mengiringi
shalat wajib yang dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat cuma sekali
dan itu dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat qabliyah pun
jadi tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bahwa:
khusus shalat tathawwu‟ pada hari Jumat jumrah raka‘atnya tidak terbatas,
sehingga dapat dikerjakan begitu berada di dalam masjid sesudah tahiyatul
Masjid hingga datang Imam shalat, (yang mana Imam tersebut akan bersalam dan
duduk, kemudian adzan dilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudah shalat Jumat
dapat dilakukan dengan dua atau empat Raka‘at. Yang dimaksud Shalat tathawwu‟ di sini adalah shalat sunnah tahiyatal masjid dan
shalat sunnah selain qabliyah Jumat. Karena shalat sunnah qabliyah
dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapat Imam Malik,
dan sebagian penganut Hanabilah dalam riwayat yang masyhur. Adapun Dalil yang menerangkan
tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sebagai berikut:
Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada
di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah
zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan
menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah
adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat,
"Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal
mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa
adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama‘ah itu melaksanakan
shalat sunnat qabliyah Jum'at?
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyah tentang tidak
adanya shalat qabliyah Jumat.
2. Nahdhatul Ulama
a. Adzan Jumat
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU
berpendapat sunnah hukumnya adzan Jumat dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu
tidak asal-asalan muncul, melainkan ada hujjah dan dalil yang mendasarinya. NU
sepakat bahwa di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab
mengumandangkan adzan untuk shalat Jum‘at hanya dilakukan sekali saja.
Penambahan adzan Jumat kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin Affan
r.a. sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum‘at menjadi dua
kali.
KH. Cholil Nafis, salah seorang pembesar NU yang
mengurusi Lembaga Bahtsul Masail, menyadari bahwa apa yang dilalukan Khalifah
Utsman r.a. dikarenakan melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat
tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu
bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Apa yang dilakukan Khalifah tersebut, menurut
NU masih dianggap relevan sampai sekarang. Untuk menguatkan pendapatnya, Cholil
Nafis mengutip kitab Shahih al- Bukhari, di sana dijelaskan:
Dari Sa'ib ia berkata,
"Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di
hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA
dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman
RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan
adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar).
Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih al-Bukhari)
Pendapat NU tentang sunnahnya dua adzan pada shalat
Jumat juga sejalan dengan pendapat Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang
kitab Fath al- Mu'in, yang mengatakan:
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat
Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu
kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk
shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain
sebelumnya".
(Fath al- Mu'in: 15)
NU menganggap bahwa ijtihad Utsman sebagai ijma‟ sukuti, yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu
kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Ijma‟ sukuti dianggap memiliki landasan
yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib al
Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh
Cholil Nafis sebagai berikut:
"Sesungguhnya apa
yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. Itu merupakan ijma' sukuti
(kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan
tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249).
Dalam menjawab apakah pengambilan hukum tersebut
tidak mengubah sunah Rasul? Dengan tegas NY menyatakan tidak! Kenapa tidak?
Karena mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah saw telah
bersabda yang artinya:
"Maka hendaklah
kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al- Khulafa' al-Rasyidun
sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Pendapat lain yang sejalan dengan fiqh NU perihal
adzan dua kali sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satu kali adzan
meskipun tidak diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang. Karena perbuatan itu
ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga tidak
diperintahkan. Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak diperintahkan,
tetapi juga tidak
dilarang, dan mengandung unsur maslahah, selain juga dianggap ijma‟ sukuti.
b. Shalat Qabliyah
Jumat
Dalam masalah shalat qabliyah Jumat NU pendapat
bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakan dalilnya lebih rajih (unggul). Pendapat ini
sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya
lebih tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat yang tidak masyhur, demikian
Cholil Nafis.
Adapun dalil yang dipakai untuk menyatakan
dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at adalah hadist Rasulullah SAW yang
artinya:
"Semua shalat
fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua raka‟at".
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari
hadist Abdullah Bin Zubair).
Dari hadist di atas maka dapat dimengerti bahwa
semua shalat fardhu, termasuk shalat Jumat terdapat shalat sunnah qabliyah. Selain
hadist di atas juga ada hadist Rasulullah saw lainnya, yang artinya:
Diriwayatkan dari Abi
Hurairah r.a. berkata: Sulayk al-Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan
Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah
shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda:
Shalatlah dua raka‟at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang), (Sunan Ibn Majah).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawi
menegaskan dalam kitab
al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab: ―Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum‟at. Paling sedikit dua raka‟at sebelum dan sesudah shalat jum‟at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka‟at sebelum dan sesudah shalat Jum‟at. (Al Majmu‟, Juz 4: 9)
c. Memegang Tongkat
pada Saat Khutbah
Tarjih Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah
ketika khatbah, khatib membawa tombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau
tidak? Dalam HPT hanya dinyatakan: ―Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah
dua kali dengan berdiri dan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di dalam
khutbah Imam supaya membaca ayat al-Qur‘an dan memberikan peringatan-peringatan
kepada orang banyak‖. Tuntunan demikian didasarkan
pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari Hadist Abu Hurairah, yang
artinya:
“Karena hadist riyawat
jama‟ah kecuali Bukhari dan
Tirmidzi dari Jabir bin Samurah r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah
berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara dua khutbah, dan membaca beberapa
ayat al-Qur‟an dan memberi
peringatan kepada orang banyak.”
Sementara itu NU, melalui lembaga Bahtsul Masail
sependapat dengan jumhur ulama fiqh yang mengatakan bahwa sunnah hukumnya
khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah.
Dalam masalah ini NU bermadzhab Syafi‘iyyah, di
mana di dalam kitab al-Umm diterangkan: Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika
Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan
memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat
bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari
Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah
memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:
Dari Syu'aib bin
Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat Jum'at pada
suatu tempat bersama
Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada
sebuah tongkat atau
busur". (Sunan Abi Dawud).
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:
Apabila muadzin telah
selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama'ah dengan wajahnya. Tidak
boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang
ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar.
Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia
menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din)
Memegang tongkat selama khotbah selain merupakan
sunnah (pernah dilakukan Rasul) juga dianjurkannya sebagai cara untuk mengikat
hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian
dalam kitab Subulus Salam, juz II, sebagaimana dikutip Cholil Nafis.
C. Qunut
Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan dalam
masalah Qunut, yakni Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga macam qunut
ini adalah masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam,
perbedaan itu juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.
Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada
Imam Malik dan Syafi‘i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah
ab‘adh, sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk
melakukan sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut (berdoa
―allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.
Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya sunnah
hai‘ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena Nabi juga
melakukannya. Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa qunut nazilah
tidak lagi boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi qunut nazilah
juga boleh dilakukan selama tidak menggunakan kutukan dan permpohonan
pembalasan dendam terhadap perorangan.
Kemudian, dalam masalah qunut witir, NU memberikan
beberapa pilihan dari pendapat ulama salaf. Sebagaimana ditulis KH Cholil
Nafis, bahwa menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir
dilakukan diraka‘at yang ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat sunnah.
Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanbaliah) qunut witir dilakukan
setelah ruku‘. Menurut pengikut Imam Syafi‘i (Syafi‘iyyah) qunut witir dilakukan
pada akhir shalat witir setelah ruku‘ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan
tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan. Namun
demikian, dalam
tataran keseharian warga NU lebih condong memakai
pendapat Imam Syafi'I dalam masalah qunut witir. Sementara Muhammadiyah
sendiri, sebagaimana ditulis Abdul Munir Mulkan (2005) merujuk pada HPT
Muhammadiyah bahwa untuk qunut witir Muhammadiyah masih menangguhkan
pengambilan keputusannya.
Untuk itu pada bab masalah qunut, hanya akan kami jabarkan
pendapat qunut nazilah dan qunut subuh dari ulama NU dan Muhammadiyah,
sedangkan untuk qunut witir hanya akan kami jabarkan pendapat dari kalangan NU
saja.
1. Nahdhatul Ulama
a. Qunut Nazilah
Dalam sebuah tanya jawab Gus Mus tentang Qunut
Nazilah yang pernah dimuat www.pesantrenvirtual.com, KH. Musthafa Bisri atau yang akrab di sapa Gus Mus menulis bahwa
mengartikan qunut dengan tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan
cipta; berdiri shalat. Kemudian, dalam perkembangannya, qunut digunakan untuk
doa tertentu di dalam shalat. Nazilah sendiri biasa diartikan dengan ―musibah.
Nabi Muhammad SAW, demikian tulis Gus Mus, pernah berqunut pada setiap lima waktu shalat, yaitu pada
saat ada nazilah (musibah). Saat
kaum muslimin mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin
yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan
tanpa
sebab yang khusus.
Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan
saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah
SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70
orang Qura‘ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka.
Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al- Ma'uunah
orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.
Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin,
orang-orang yang tertindas, di Mekkah.
Qunut Nazilah adalah sunnah hai‘ah hukumnya (kalau
lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana menurut
Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik
oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam.
Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh kalangan NU
antara lain hadist Nabi yang artinya:
“Rasulullah SAW kalau
hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang,
maka beliau doa qunut setelah ruku‟ (HR. Bukhori dan
Ahmad).
Sementara bacaan doa untuk qunut nazilah sama
dengan qunut subuh.
Hanya saja, biasanya dalam qunut nazilah
ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi.
Misalnya dalam malapetaka di Bosnia
yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh, atau serangan Israel ke
Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar
penderitaan saudara-saudara kita di sana
segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.
Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan dengan
pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa‘d, Yahya bin Yahya
Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah tidaklah
manzukh sejak turunnya al-Qur‘an surat
alimran ayat 128, sebagaimana hadist Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim yang
artinya:
“Adalah Rasulullah shollallahu
„alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari raka‟at kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat
kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami‟allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalam
keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah
Al-Walid bin Al-Walid,
Salamah bin Hisyam, „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah
keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka
tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada
masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri‟lu, Dzakw an dan „Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala
telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)
Menurut kalangan yang sepakat masih disunnahkannya
qunut nazilah, termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat bahwa berdalilkan
dengan hadits tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan
yang lemah, karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut
hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali
kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara
yang ghoib.
Kedua: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya: Dari Abi
Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata: “Demi
Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa
sallam. Maka Abu
Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya‟ dan Shubuh.
Beliau mendoakan
kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk
orang-orang kafir”. (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh.
Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan
cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
b. Qunut Witir
Pada umumnya di kalangan warga NU mempraktekkan
qunut witir, khususnya untuk qunut witir setelah rukuk pada separuh kedua bulan
Ramadhan. Meskipun diakui bahwa memang ada perbedaan pendapat dari madzhab yang
empat. Perbedaan tersebut yaitu:
1) Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah)
qunut witir dilakukan diraka‘at yang ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat
sunnah.
2) Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah)
qunut witir dilakukan setelah ruku‘.
3) Menurut Pengikut Imam Syafi‘i (syafi‘iyyah)
qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku‘ pada separuh kedua
bulan Ramadlan.
4) Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut
witir tidak disunnahkan.
Dalam praktek peribadatan warga NU pada umumnya
cenderung mengambil
pendapat Imam Syafi'i. Di antara dasar yang
mendukung pendapat ini antara lain dari Sahabat dan Tabi‘in.
Dari Amr bin Hasan, bahwasanya “Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay radiyallahu „anhu mengimami
shalat (tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau
menyuruh Ubay
radhiyallahu „anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan yang dimulai
pada malam 16 Ramadhan.(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Ma‘mar berkata: ―Sesungguhnya aku melaksanakan
qunut Witir sepanjang tahun, kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan
pertengahan (aku tidak qunut), demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri,
ia menyebutkan dari
Qatadah dan lain-lain. (Dalam kitab Mushannaf ‗Abdirrazzaq)
Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do‟a qunut sesudah ruku‟ dan ditambah
dengan (do‟a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dan mendo‟akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan
Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu „anhum di zaman
„Umar radhiyallahu „anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang Tarawihnya
para Shahabat radhiyallahu „anhum, Abdurrahman bin „Abdul Qari berkata: „Mereka
(para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai pertengahan
Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu Khuzaiimah)
c. Qunut Subuh
H.M Cholil Nafis dalam sebuah tulisannya berkaitan
dengan masalah qunut subuh, mencoba mengkompromikan dua pendapat yang
bertentangan di antara Ulama Salaf. Pendapat yang pertama datang dari pengikut Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa hukum qunut subuh tidak disunnahkan.
Sedangkan pendapat yang kedua, datangnya dari Imam Malik dan
Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa qunut subuh
hukumnya sunnah hai‘ah. Sebelum lebih jauh mengetahui bagaimana Cholil Nafis mengkompromikan
dua pendapat yang berbeda itu dan pada akhirnya mengambil pendapat yang
menetapkan qunut subuh sebagai amalan sunnah terlebih, dahulu kita mengetahui
dasar-dasar dari pendapat yang berbeda itu. Pendapat yang menetapkan bahwa
qunut subuh tidak disunnahkan adalah berdasarkan hadis Nabi hadits Nabi SAW
bahwa Nabi pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan
telah dihapus (mansukh) dengan ijma‘ sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud:
―Diriwayatkan oleh Ibn
Mas‟ud: Bahwa Nabi SAW
telah melakukan doa qunut
selama satu bulan
untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup,
kemudian Nabi SAW
meninggalkannya. (HR. Muslim)
Sedangkan pendapat madzhab yang menetapkan qunut
subuh sunnah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari
ruku‘ (i‘tidal) pada raka‘at kedua
shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian
itu ―Rasulullah SAW lakukan
sampai meninggal dunia (wafat). (HR. Ahmad dan
Abd Raziq).
Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu‘nya:
―Dalam Madzhab kita
(madzhab Syafi‟i) disunnahkan membaca
qunut dalam
shalat Shubuh, baik
karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama‟ salaf. (al-Majmu‘, juz 1 : 504)
Cara pengkompromian yang dilakukan Chalil Nafis
untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam‟i wa al-taufiiq) adalah, bahwa hadits Abu Mas‘ud
(dalil pendapat Hanafiyyah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut
selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut
melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang
menyimpulkan bahwa qunut shalat subuh dihapus (mansukh) dan tidak perlu
diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil
pendapat Malikiyyah dan Syafi‘iyyah)
menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat
subuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.
Chalil sampai pada kesimpulan, bahwa ketika
interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan
makna teks tersurat (dzahirun
nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan
pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits
shahih. Jadi, hukum melakukan edoa qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab‟adh, yakni ibadah
sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya
disunatkan melakukan sujud
sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir
sebelum salam. Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut,
yakni: Hadis Anas r.a.:
“Sesungguhnya Nabi
s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan atas mereka, kemudian
meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang subuh, beginda masih berqunut
sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih oleh al-Hakim, al- Baihaqi, al-Daruquthni dll.)
Riiwayat dari al-Awwam bin Hamzah, katanya: “Aku bertanya Abu Usman mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia
berkata: Selepas rukuk. Aku berkata: Dari siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar,
Umar dan Ustman.
(HR al-Baihaqi dan dianggapnya sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Mua‘qqal,
katanya: “Ali berqunut pada sembahyang subuh.”
Di dalam al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi‘ berkata dari
Fithr dari Atho‘,
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. berqunut pada sembahyang subuh, dan sesungguhnya Abu Musa
al-Asy‟ari, Abu Bakrah, Ibnu
Abbas dan al-Hasan berqunut pada sembahyang subuh.”
Riwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Rafi‘ bahwa
kedua-duanya bersembahyang subuh di belakang Umar, dia berqunut selepas rukuk.
2. Muhammadiyah
a. Qunut Nazilah
Dalam masalah qunut nazilah Tarjih Muhammadiyah
menampung adanya pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan,
disebabkan pemahaman yang berlainan mengani hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah
Saw tidak mengerjakan qunut Nazilah setelah diturunkan surat Ali Imran ayat 128:
Artinya:
“Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau
mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”.
Dalam doa itu Rasulullah mohon dikutuknya mereka
yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka.
Kemudian turunlah ayat di atas.
Pemahaman Tarjih yang timbul dari riwayat tersebut
ialah:
1. Bahwa qunut nazilah tidak boleh lagi diamalkan
2. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata
kutukan dan permohonan terhadap perorangan.
b. Qunut Subuh
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa
di kalangan Muhammadiyah pada umumnya, qunut yang dibaca khusus pada raka‘at
kedua
setelah rukuk dalam shalat subuh tidak ada. Tarjih
Muhammadiyah menjelaskannya lebih lanjut sebagaimana uraian berikut:
Di samping perkataan qunut yang berarti tunduk
kepada Allah dengan penuh kebaktian‘, Muktamar dalam keputusannya menggunakan
makna qunut yang berarti ―berdiri (lama) dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur‘an
dan berdoa sekehendak hati.
Dalam perkembangan sejarah fiqh, demikian Abdul
Munir Mulkhan, di masa lampau orang atelah cenderung untuk memberi arti khusus
pada apa yang dinamakan qunut, yakni: ―berdiri sementara pada shalat shubuh sesudah ruku‘
pada raka‘at kedua dengan membaa doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa:
1) Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis
tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada
shalat tidak khusus hanya ditamakan pada shalat subuh.
2) Bacaan doa: ―Allahummahdini fiman hadait dan
seterusnya tersebut tidaklah sah.
3) Penerapan hadis hasan tentang doa tersebut dalam
phoin (2) untuk khusus dalam qunut subuh tidak dibenarkan.
Terus terang, penulis belum menemumukan dasar yang
rinci dari pengistimbathan hukum qunut subuh oleh tarjih Muhammadiyah tersebut.
Namun, dalam sebuah situs pdmbontang.com, situs resmi Muhamamdiyah kota
Bontang, terdapat sebuah tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad
Dzulkarnain, yang menyangkal disunnahkannya qunut subuh.
Abu Muhammad
Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: ―Terus-menerus
Rasulullah shollallahu alaihi wa a lihi wa sallam
qunut pada sholat subuh sampai beliau meninggal dunia yang dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf
3/110 no.4964, terdapat dalam kitab-kitab lain
adalah ―mungkar”. Menurutnya,
hadits ini memang dishahihkan oleh Muhammad bin Ali
Al-Balkhy dan
Al-Hakim
sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127
dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam
Al-Jauhar An-Naqy berkata:
―Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi
yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i‘ bin Anas adalah Abu Ja‘far Isa bin Mahan
Ar-Rozy mutakallamun fihi
(dikritik). Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : ―Laysa bil
qowy (bukan orang
yang kuat). Berkata Abu
Zur‘ah: ―Yahimu katsiran (Banyak salahnya). Berkata Al- Fallas
: ―Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya). Dan berkata
Ibnu Hibban: ―Dia bercerita dari rawi-rawi yang masyhur hal-hal yang mungkar.
Lebih jauh, Abu
Muhammad Dzulkarnain mengutip pendapat Ibnul Qoyyim
dalam Zadul Ma‘ad jilid I setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu
Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar
yang diriwayatkan oleh Abu Ja‘far Ar-Rozy, beliau berkata: ―Dan yang
dimaksudkan bahwa Abu Ja‘far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits
yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para
ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.
Hadits yang sedang kita bahas itu memiliki ini
memiliki tiga jalan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, tetapi semuanya jalan
tersebut dianggap lemah. Di antara mereka yang melemahkannya adalah adalah
Ibnul Jauzi dalam al-Ilal al
Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta‘liq ala
al Baihaqi, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam
Zadul Ma‘ad (1/99), al Hafidz Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245).
Dan diantara ulama mutaakhkhirin adalah al Albani dalam silsilah ad Dha‘ifah
(1/1238)
Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan
logika; yaitu bagaimana mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan
membaca do‘a rutin sementara tidak diketahui sama sekali do‘a yang dibaca itu.
Tidak dalam hadits shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling
mengerti tentang sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu‘anhuma mengingkarinya
dengan mengatakan: “Kami tidak pernah melihat
dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika
dikatakan Nabi Shalallahu alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar
radhiallahu‘anhu
bersaksi: “Kami tidak pernah
melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana termaktub
dalam Majmu‟ Fatawa.
Selain itu, beberapa dalil yang biasanya dipakai
untuk menyangkal pendapat yang mengatakan qunut subuh adalah sunnah adalah
hadist berikut:
Dari Abu Malik al-Asyaja‘i, katanya: ―Aku berkata
kepada ayahku: Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah bersembahyang di
belakang Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, di sini di Kufah
selama hampir lima
tahun, adakah mereka berqunut?‘ Dia menjawab: Wahai anakku itu adalah bid‘ah.‘
(HR Ahmad, al-Tarmizi & Ibnu Majah)
Ibnu Mas‘ud, berkata: ―Rasulullah saw. tidak pernah
berqunut di dalam
sembahyangnya sekalipun. (HR al-Thabrani,
al-Baihaqi & al-Hakim)
Sesungguhnya Nabi saw. pernah berqunut sebulan
lamanya, kemudian baginda meninggalkannya (tidak berqunut lagi). (HR Ahmad)
Meski Muhammadiyah berprinsip untuk tidak
bermadzhab, namun dalam pendapatnya pada masalah qunut, sejalan dengan pendapat
Madzhab Hanafi dan Hambali.
D. Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah ibadah yang khusus dikerjakan
pada bulan Ramadhan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarawih bisa
dikerjakan berjamaah,
maupun dengan cara munfarid (sendiri). Shalat
Tarawih hukumnya sunnah muakad. Semua keterangan diatas tidak terdapat ikhtilaf
atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun
Muhammadiyah. Ikhtilaf bab shalat Tarawih terdapat pada cara pelaksanaannya,
lebih khusus lagi pada jumlah raka‘atnya. Di kalangan warga NU shalat tarawih
biasa dikerjakan dengan 20 raka‘at dan diakhiri dengan 3 raka‘at witir.
Sementara di kalangan warga Muhammadiyah tarawih biasa dilaksanakan 8 raka‘at,
dan diakhiri dengan 3 raka‘at witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup
shalat tarawih pun terdapat ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat
witir tiga raka‘at sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir
bulan Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 raka‘at dengan dua
raka‘at salam, dan satu raka‘at salam, juga qunut witir pada separuh terakhir
bulan Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut
sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih
Muhammadiyah mengenai jumlah aka‘at shalat tarawih. Dalam HTP diterangkan bahwa
jumlah rakakat shalat tarawih plus witir tidak harus 11 raka‘at (sudah termasuk
witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah raka‘atnya gasal. Demikian
pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak
hanya 3 raka‘at saja.
Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga
memiliki ciri khas tersendiri dalam mengerjakan shalat tarawih dan witir, khususnya
yang dikerjakan berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga
NU, yakni ada pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya
dimulai dari surat
at- Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarawih. Pada bab ini, penulis hanya
akan membahas ikhtilaf shalat tarawih dan witir, beserta raka‘at serta suratan
yang dibaca pada shalat tarawih dan witir. Untuk pembahasan mengenai qunut
witir sudah kami bahas pada bab tersendiri, bersamasama dengan qunut subuh dan
qunut nazilah.
1. Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah
pembahasan masalah shalat tarawih dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan
dengan tuntunan mengenai shalat lail. HTP menjelaskan bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa
dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, qiyamul-lail dan qiyamu
Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut dengan shalat witir. Shalat
lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang menggunakan istilah „tathawwu‟ untuk ragam shalat semacam ini.
Dalam tanya jawab masalah agama di Majalah suara
Muhammadiyah pernah
disinggung masalah shalat tarawih. Di sana ditulis, bahwa shalat
lail disebut shalat tahajjud karena, shalat tersebut
dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir karena dalam
melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena, shalat tersebut
dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu
Ramadlan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadlan
dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadlan adalah
shalat tarawih karena, dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan
yang bagus dan lama dan setelah empat raka‘at pertama dan kedua ada istirahat
sebentar.
Untuk mempermudah kita memahami pembahasan shalat lail karena dalam HPT diterangkan
dengan panjang lebar, maka alangkah baiknya pembahasannya ini kita pecah
menjadi tiga, yakni, shalat tarawih, dan shalat witir.
a. Shalat Tarawih
Jumlah raka‘at yang dituntunkan Tarjih dalam shalat
tarawih adalah 11 raka‘at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka‘at (sebanyak 4
kali) ditambah tiga raka‘at witir. Pendapat tersebut didasarkan pada hadis
Rasulullah saw yang artinya:
Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: “Seorang lelaki bangkit berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara
shalat malam, hai Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Shalat
malam itu dua raka‟at dua raka‟at. Jika engkau khawatir akan terkejar shubuh, hendaklah negkau
kerjakan witir atau satu raka‟at saja.” (HR. Jama‘ah)
Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya:
“Lalu aku berdiri di
samping rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan
digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua raka‟at kemudian dua raka‟at lagi, lalu dua raka‟at lagi kemudian dua raka‟at, lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga
datang bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka‟at singkat-singkat, kemudian pergi shalat shubuh. (HR. Muslim)
Juga hadis Rasulullah yang artinya:
“Diriwayatkan dari
Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah
saw. pada suatu malam, beliau shalat dua raka‟at yang ringanringan, kemudian shalat dua raka‟at yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua raka‟at yang lebih pendek dari dua raka‟at sebelumnya, lalu shalat dua raka‟at yang lebih pendek dari dua raka‟at sebelumnya, lalu shalat dua raka‟at yang lebih pendek dari dua raka‟at sebelumnya, lalu shalat dua raka‟at yang lebih pendek dari dua raka‟at sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah,
shalat tigabelas raka‟at.” [HR Abu Dawud, bab fi Shalat
al-Lail] Dalil lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist
dari Abu Salamah yang artinya
sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Abu
Salamah Ibn „Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada „Aisyah r.a bagaimana
shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. „Aisyah menjawab: Baik di bulan
Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail)
tidak lebih dari sebelas raka‟at. Beliau shalat empat raka‟at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang
beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat raka‟at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya
shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka‟at.” (HR al- Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih, Bab Man Qama
Ramadlan)
Mengenai cara pelaksanaannyanya, tentang berapa
raka‘at lalu salam, HPT
menyatakan: ―Jika engkau hendak mengerjakan shalat
dengan cara lain, maka yang sebelas raka‘at itu boleh engkau kerjakan dua-dua
raka‘at, atau empat-empat raka‘at seperti di atas, atau di enam raka‘at. Di
samping juga dinyatakan: ―Atau delapan raka‘at terus menerus dan hanya duduk
pada penghabisan salam. Dalil yang dijadikan rujukan adalah hadis Abdullah bin
Abu Qais dan hadist Abi Salamah, yang artinya:
Abdullah bin Abu Qais
bertanya kepada Aisyah “Berapa raka‟at Rasulullah shalat witir?” Ia menjawab: “Ia kerjakan witir empat
lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga,
ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka‟at dan tidak lebih dari tiga belas.” (HR. Abu Dawud)
Selain itu juga berdasar pada hadis Abu Salamah,
yang artinya:
Pernah Abu Salamah bertanya kepada Aisyah tentang
shalat Rasulullah, maka ia menjawab: “Ia kerjakan tiga
belas raka‟at. Ia shalat delapan
raka‟at kemudian shalat witir
lalu shalat dua raka‟at sambil duduk kalau ia hendak ruku‟ ia bangkit lalu ruku‟. Kemudian dari pada itu ia shalat dua raka‟at antara adzan dan iqamah pada shalat shubuh. (HR. Muslim)
Diterangkan riwayat
Abu Dawud dari Qatadah, kadanya: “Nabi shalat delapan raka‟at dengan tidak duduk (tahiyat) kecuali pada raka‟at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian
membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua
raka‟at sambil duduk
setelah ia baca salam, kemudian ia shalat lagi satu raka‟at. Itulah sebelas raka‟at semuanya, hai anakku.” (HR. Abu Dawud)
Mengenai hadis Abdullah bin Qais, Tarjih memberi
catatan penjelasan bahwa yang dimaksud Shahabat Abdullan bin Abi Qais pada
pernyayaannya ialah bilangan raka‘at yang dikerjakan oleh Nabi sepanjang malam
hari.
Sedangkan mengenai surat
yang dibaca setelah al-Fatihah di setiap raka‘at shalat lain, Tarjih tidak
menentukan nama suratnya, melainkan hanya menyebutnya surat dari Al-Qur‘an.
Dasarnya ialah hadis dari Aisyah, yang artinya:
Aisyah pernah ditanya
tentang shalat Rasulullah di tengah malam lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan
shalat Isya dengan berjamaah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu shalat
empat raka‟at kemudian ia pergi
ke peraduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudhu yang
ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan
pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudhu, dengan sempruna
kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan raka‟at.
“Dalam raka‟at-raka‟at itu ia membaca fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat
lainnya. Ia tidak
duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada raka‟at ke delapan dan tidak menutup dengan salam. Pada raka‟at ke sembilan ia membaca seperti seblumnya lalu duduk tahiyat
akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada Allah serta menyatakan
keinginannya kemdian ia membaca salam sesekali dengan suara keras yang hampir
membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil duduk
dengan memabca Fatihah
dan ruku‟ sambil duduk lalu ia
kerjakan raka‟at kedua serta ruku‟ dan sujud sambil duduk kemudian membaca doa sepuas hatinya dan
akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi.
“Demikianlah selalu shalat Rasulullah sampai
akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka‟at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua
raka‟at yang dikerjakan
sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi
wafat. (HR Abu Dawud)
Tarjih menerangkan mengenai bilangan enam dan tujuh
dalam hadis di atas, yaitu bahwa Nabi mengerjakan shalat enam raka‘at lalu
duduk untuk tahiyat awwal kemudian berdiri dan pada raka‘at ketujuh menutupnya dengan salam
lalu shalat dua raka‘at sambil duduk.Dari hadis
tersebut di atas itulah didapati pengertian mengenai mudahnya mengerjakan
shalat lail, sehingga
tidak mengharuskan bilangan raka‘at sebelas, tetapi asalkan gasal. Abdul Munir
Mulkhan menulis, apa yang tercantum di HTP Muhammadiyah dalam masalah shalat lail berbeda dengan praktik
kebiasaan di kalangan warga Muhammadiyah, khusunya yang menyangkut jumlah
raka‘at. Hal ini juga bisa dilihat pada putusan Tarjih mengnai jumlah raka‘at
witir.
b. Shalat witir
Kalau dalam praktik dan kebiasaan warga
Muhammadiyah melakukan witir 3 raka‘at, dalam HTP diterangkan bahwa witir tidak
harus 3 raka‘at. Melainkan, bisa 1, 3, 5, atau 9 raka‘at. Dasar pelaksanaan
witir 3 raka‘at adalah sebagaimana hadis dari Aisyah tersebut di atas.
Berikut akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai
ragam jumlah raka‘at witir, sebagaimana telah ditulis Abdul Munir Mulkhan
(2007):
a. Satu atau tiga raka‘at. Ragam jumlah raka‘at
witir satu atau tiga demikian berdasarkan dua buah hadis Aisyah yang artinya sebagai
berikut:
“Adapun Rasulullah
mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya
yaitu yang orang
namakan „atamah hingga fajar sebelas raka‟at dengan membaca salam antara dua raka‟at lalu shalat witir satu raka‟at, kemudian apabila muadzin telah selesai seruan shubuhnya, dan
terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka‟at singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung kanan sampai
muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dasar lainnya adalah:
“Asisyah menerangkan:
“Adapun Rasulullah mengerjakan shalat witir tiga raka‟at dengan tidak dipisah-pisahkan (HR. Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan
Hakim mengatakan bahwa hadis shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim)
b. Lima
atau tujuh raka‘at. Penjelasan tarjih mengenai jumlah raka‘at witir menyatakan
bahwa bilangan raka‘at witir dpat terdiri dari lima atau tujuh raka‘at dengan duduk pada penghabisannya.
Dasar dari ragam jumlah raka‘at witir di ata ialah hadis Abu Hurairah, Airyah,
Ummi salamah dan Ibnu Abbas.
Hadis Abu Hurairah, yang artinya:
Dari Nabi Saw, ia
berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka‟at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu
kerjakan lima
atau tujuh raka‟at”. (HR. Daraquthni, Ibu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al Iraqi sanadnya shohih)
Hadist Aisyah, yang artinya:
Rasulullah sering
mengerjakan shalat malam tiga belas raka‟at dengan perhitungan lima
daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada
akhirny” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist Ummi Salamah, yang artinya:
“Rasulullah selalu
mengerjakan witir tujuh atau lima
raka‟at tanpa dipisah antara
semuanya dengan bacaan salam atau lainnya.(HR. Nasai dan
Ibnu Majah)
Dan hadis Ibnu Abbas, yang artinya:
“Kemudian Nabi shalat
tujuh atau lima raka‟at dengan pengertian witir, yang tidak ia memabca salam kecuali
pada raka‟at terakhir.” (HR. Abu Dawud)
c. Tujuh raka‘at. Penjelasan tarjih mengenai ragam
bilangan witir menyatakan bahwa berjumlah tujuh raka‘at dengan duduk tasyahud awwal pada raka‘at keenam dan
diakhiri pada raka‘at ketujuh dengan duduk untuk salam. Dasarnya ialah hadis
Sa‘ad bin hisyam, yang artinya sebagai berikut:
“Maka setelah ia
bertambah berat badannya karena usia lanjut, ia kerjakan witir tujuh raka‟at dengan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya
membaca salam pada raka‟at yang ketujuh.” (HR. Ahmad, Nasai, dan
Abu Dawud)
d. Sembilan Raka‘at. Tarjih menyatakan bahwa ragam
jumlah bilangan raka‘at witir ada yang mencapai sembilan raka‘at. Dalam hal ini
tarjih menyatakan bahwa jumlah witir ialah sembilan raka‘at dengan duduk tasyahud
awwal pada raka‘at kedelapan dan diakhiri pada raka‘at kesembilan dengan duduk
untuk salam.
Penjelasan mengenai jumlah raka‘at sebanyak
sembilan raka‘at tersebut didasarkan sumber dalil dari hadis Aisyah sebagaimana
telah dikutip dalam bahasan mengenai ketentuan membaca fatihah dan surat dari al- Qur‘an
sebagaimana telah tersebut di atas.
Kemudian, mengenai surat-surat yang dibaca dalam
shalat witir sebagaimana kebiasaan Rasulllah, dalam HTP dijelaskan bahwa surat yang dibaca ialah surat al-A‘la sesudah membaca al-Fatihah pada
raka‘at pertama. Selanjutnya, membaca surat al-Kafirun
pada raka‘at kedua, sementara itu surat
al-Ikhlas dibaca pada raka‘at ketiga. Cara demikian ini berdasarkan hadis Ubai
Bin Ka‘ab yang artinya:
Bahwasannya, Nabi saw
pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a‟la dan “Qul ya-ayyuhal kafirun” pada raka‟at kedua dan: “Qulhuwallahu ahad‟ pada raka‟at ketiganya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi serta
Ibnu majah)
Demikianlah pendapat Muhammadiyah berkaitan dengan
shalat lail, qiyamu Ramadhan, atau tarawih dan juga shalat witir. Ternyata memang cukup
panjang
sehingga dimasukkan dalam sub bab khusus, tidak
digabung dengan shalat sunnah atau tathawwu‘ yang lain.
2. Nahdhatul Ulama
(NU)
a. Shalat tarawih
NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan,
tetapi juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarawih di lingkungan
pesantren dan luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU ternyata
memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Jumlah raka‘atnya kalangan NU menyepakati
yang 20 raka‘at ditambah dengan 3 raka‘at witir. Ciri khas tersebut terletak
pada suratan yang dibaca setelah fatihah. Sebelum lebih jauh ke sana, barangkali lebih
tepat jika kita bahas lebih dulu mengenai dasar-dasar yang digunakan NU
berkaitan dengan shalat tarawih. Bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah
mengikuti tuntunan dari shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar
beserta pada shabat yang lain menjalankannya 20 raka‘at ditambah 3 raka‘at
witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al- Muwaththa‘, juz I, yang
artinya sebagai berikut:
Dari Yazid bin Hushaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat
tarawih di bulan Ramadhan 23 raka‟at.”
Selain dasar di atas, sebagaimana ditulis KH
Munawwir Abdul Fattah dari Pesantren Krapyak Yogyakarta,
bahwa Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 raka‘at ini berdasar pada
beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat
dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada
zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 raka‘at.
Juga berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian
sebanyak 20 Raka‘at ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa Rasulullah shalat
bersama kaum muslimin sebanyak 20 raka‘at di malam Ramadhan. Ketika tiba di
malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian
paginya beliau bersabda:
“Aku takut kalau-kalau
tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu
melaksanakannya.”
Hadits tersebut di atas disepakati kesahihannya dan
tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak
menyebutkan raka‘atnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz
II, hlm.466-467)
Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pada suatu malam
Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid, maka ada beberapa bermakmum
padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa ia telah shalat bersama
Rasulullah semalam, maka berkumpullah orang-orang dan ikut shalat bersama Nabi
saw. Dan pada pagi hari mereka juga memberitahu kepada kawankawannya sehingga
banyak orang yang shalat di malam ketiga, dan Rasulullah saw. tetap keluar
untuk shalat bersama mereka, kemudian pada malam keempat penuhlah masjid
sehingga tidak muat masjid karena banyaknya orang, tetapi Rasulullah saw sengaja
tidak keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat subuh, kemudian setelah
shalat subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua kalimat syahadat lalu
bersabda: Amma ba‟du, sebenarnya
keadaanmu semalam telah aku ketahui, tetapi sengaja aku tidak keluar karena
kuatir kalau-kalau shalat malam ini diwajibkan atas kalian sehingga kalian
mereasa tidak kuat melaksanakannya.” (HR. Bukkhari dan Muslim)
Demikianlah dasar shalat tarawih di kalangan NU,
meskipun tidak terlalu panjang tetapi sudah dianggap cukup untuk mengambil cara
pelaksanaan shalat
tarawih yang 20 raka‘at.
Ciri khas pelaksanaan shalat tarawih di
―masjid-masjid NU yakni biasanya ada seorang
petugas yang dikenal dengan istilah bilal yang tugasnya adalah akan mengumumkan
tibanya shalat tarawih. Shalat tarawih dikerjakan dengan cara dua raka‘at
salam. Pada tiap raka‘at pertama biasanya setelah al-Fatihah membaca
surat-surat pendek, yang diawali dengan surat
at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-Lahab. Sementara untuk raka‘at yang
kedua suratan yang dibaca adalah surat
al-Ikhlas.
Para imam Tarawih NU umumnya, demikian Munawir Fattah memilih shalat
yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada
orang tua yang punya
kepentingan. Maka, 23 raka‘at umumnya
shalat Tarawih
lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.
Tetapi di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa ―pesantren NU yang mengerjakan tarawih dengan membaca surat-surat yang panjang.
Dalam 20 raka‘at tarawih ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Qur‘an. Apa
yang dilakukan di pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat tarawih di
Masjidil Haram, Makkah. Di sana,
23 raka‘at diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci
Al-Qur‘an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur‘an.
b. Shalat Witir
Shalat witir sebagai penutup shalat tarawih di
kalangan NU dikerjakan 3 raka‘at dengan cara dua raka‘at salam dan diteruskan
dengan satu raka‘at salam. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam
kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu
Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 raka‘at
dan 3 raka‘at Witir. Untuk suratan yang dibaca setelah al-Fatihah dalam shalat
witir, pada raka‘at pertama dianjurkan surat
al-A‘la dan raka‘at kedua adalah surat
al-Kafirun. Hal ini senada dengan Muhammadiyah dan dasar yang digunakan juga
sama. Yang berbeda adalah raka‘at witir yang ketiga. Raka‘at witir yang ketiga
dikerjakan sendiri, atau dengan 1 raka‘at. Biasanya surat
yang dibaca secalah al-Fatihah adalah surat
al-Ikhlas, ditambah al-Falaq, dan an-Nas. Selain itu pada separuh terakhir
bulan ramadhan, pada raka‘at yang ketiga ini, setelah bangun dari rukuk
dilakukan pembacaan qunut, biasa disebut dengan qunut witir
E. Dzikir
Dzikir merupakan ibadah yang banyak disinggung baik
dalam al-Qur‘an maupun hadist. Dzikir merupakan perintah Allah yang
(sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun.
Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam
sebuah kelompok (majlis dzikir).
Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah satunya
adalah dapat membuat hati menjadi tenang. Karena itulah maka dzikir mesti kerap
dilakukan, agar hati senantiasa tenang dan senantiasa mengingat Allah. Firman
Allah:
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir
yang
sebanyak-banyaknya. (Q.S. al-Ahzab: 41)
Rasulullah telah memberikan contoh berkaitan dengan
bacaan-bacaan dzikir atau doa. Demikian pula, berkaitan dengan waktu-waktu di
mana kita disunnahkan membaca dzikir tertentu, seperti dzikir setelah shalat,
dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan
Muhammadiyah tidaklah berselisih pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah
dzikir ada pada tata cara pelaksanaannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Masjid-masjid di
mana warga NU menjadi basisnya, setiap kali ba‘da shalat biasa dilaksanakan
dzikir berjamaah, yang mana dipimpin oleh Imam shalat. Dzikir tersebut kemudian
dilanjutkan dengan doa yang dipimpin Imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya
dzikir setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian
(shalawat, syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di kalangan
warga NU juga biasa digelar acara istighasah, mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah acara yang intinya adalah
doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir. Acara tersebut biasanya dilakukan
di lapangan, masjid, atau tempat-tempat lain dengan menggunakan pengeras suara.
Sementara itu di Masjid-masjid di mana warga
Muhammadiyah menjadi basisnya, tak ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh Imam
setelah shalat.
Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar
dzikir atau doa bersama, atau istighasah. Lebih jelasnya tentang masalah ini,
marilah kita simak dalil dan pendapat dari NU dan Muhammadiyah berikut.
1. Muhammadiyah
Dalam majalah Suara
Muhammadiyah pernah muncul sebuah pertanyaan, begini: ―Dzikir
dengan suara keras selesai shalat wajib menurut Ibnu Abbas biasa dilakukan pada
masa Rasulullah saw, apakah dapat diamalkan?
Sebelum kami tuliskan jawaban dari Suara Muhammadiyah, lebih dulu kami singgung
bahwa dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang
detail berkaitan dengan tata cara berdzikir, lebih-lebih dzikir yang khusus
dilaksanakan selesai shalat. Pada pembahasan masalah ―Amal Setelah Shalat
Berjama‘ah dalam HPT terdapat keterangan bahwa setelah shalat
berjamaah Imam menghadap ke arah ma‘mum sisi kanan. Landasannya, salah satunya
adalah hadis dari Samarah yang artinya sebagai berikut:
“Adalah Nabi Saw,
apabila telah selesai mengerjakan shalat beliah menghadap
mukanya kepada kita.”
Selain itu, Tarjih juga menyatakan agar setelah
selesai shalat berjamaah, supaya jamaah shalat duduk sebentar. Dasarnya ialah
hadits Abu Hurairah berikut:
“Sesungguhhnya para Malaikat memintakan Rahmat
untuk salah seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum
berhadats; para malaikat mendoakan: “Ya Allah, ampunilah dosanya dan
kasihanilah ia.”
Selain keterangan di atas, tidak kami temukan
pembahasan yang rinci berkaitan dengan masalah dzikir dalam HPT. Namun
demikian, Muhammadiyah menegaskan dan menjelaskan pendapat-pendapatnya bukan
hanya lewat HPT melainkan juta lewat media lain, baik elektronik maupun cetak.
Dalam menjawab pertanyaan di Majalah Suara Muhammadiyah mengenai dzikir dengan suara
keras setelah shalat, telah kutip ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis yang
berhubungan dengan dzikir dan doa, meskipun tidak semuanya.
Memang, terdapat sebuah hadis yang dari Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan dzikir dengan suara keras.
Yaitu, hadist yang artinya sebagai berikut:
“Dahulu kami mengetahui
selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir
yang keras".
Namun demikian hadis tersebut, dianggap
bertentangan dengan al-Qur‘an dan beberapa hadis lainnya. Dalam surat Al-A‘raf ayat 55
Allah berfirman:
Artinya:
Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Surat Al-A‘raf ayat
205:
Artinya:
Dan sebutlah (nama)
Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.
Dari dua ayat tersebut, Muhammadiyah berpendapat
bahwa Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan
merendahkan diri, dalam arti lain tidak dengan mengeraskan suara. Untuk
menegaskan pendapat tersebut, tak lupa Muhammadiyah mendasarkannya pada hadist,
yakni sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Abu
Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam
suatu perjalanan,
kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi saw
bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak
berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa
kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa,
menegaskan agar merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah Swt
tidak tuli dan tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Hadis yang berasal dari perkataan Ibnu Abbas
tersebut, selain dianggap bertentangan, dalam Fatawa-Fatawa Al-Bani
diterangkan, bahwa sebagain Ulama menyimpulan lafal ―Kunnaa (kami dahulu), mengandung
isyarat halus, yang artinya perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus. Dalam
hadist yang lain Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian
manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian,
maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu
sebagian yang lain.”
Al-Baghawi menambahkan hadis tersebut dengan sanad
yang kuat.
"Sehingga
mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".
2. Nahdhatul Ulama
Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di
kalangan warga NU akan kami muat dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum
shalat berjamaah;
kedua, dzikir dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal istighasah.
dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
a. Dzikir
sebelum Shalat Berjama’ah
Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar
lantunan puji-pujian dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa
syair yang berisi nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi,
Nariyah, dan lan sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan
syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir
seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam
telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir
tersebut. Perlu diketahui, bahwa syair atau bacaan-bacaan dzikir yang dilagukan
dari masjid-masjid sebelum shalat berjamaah, tidak dilaksanakan di semua
masjid.
Hanya masjid-masjid tertentu saja, yang mana
(biasanya) masyarakat disekitarnya adalah kaum Nahdhiyin.
Bagaimanakah hukum melantunkan syair dan dzikir
sebelum shalat berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan
persoalan ini dalam situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca dzikir dan
syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan
dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu
pada masa Rasulullah Saw. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam
sebuah
hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika Umar
berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, „aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu.‟ Kemudian ia menoleh
kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. „Bukankah engkau telah
mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.‟ Abu Hurairah lalu menjawab, „Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).‟ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma‘il
az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila
Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan
syair yang berisi puji-pujian,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang
oleh agama, dengan kata lain
hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin
Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga
merupakan strategi yang sangat jitu untuk
menyebarkan ajaran Islam di tengah
masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa
pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Misal, lantuan dzikir istighfar berikut:
Astaghfirullah, Rabbal
baraya, astaghfirullah minal khathoya. Contoh lain,
adalah syair karangan Sunan Bonang berikut:
Tombo ati, iku ana
limang perkoro, ingkan ndingin, maca qur‟an lan maknane, kaping pindo, shalat wengi lakonono, kaping telu
dzikir wengi ingkang suwe, kaping papat, wetengi ngiro luwih ono, kaping limo,
wong kang shaleh kumpulono. (obat hati itu ada lima macam, pertama membaca
al-Qur‟an berserta maknanya,
kedua shalat malam lakukanlah, ketiga, dzikir malam jalankanlah, keempat,
perutmu laparkanlah (puasa), kelima, berkumpullah dengan orang shaleh.
Dan masih banyak lagi syair-syair lain yang
dianggap sangat bermanfaat karena memberikan nasehat dan menedekatkan orang
yang membacanya kepada Allah Swt.
Ketiga, dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan
syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan
suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan
di masyarakat tersebut dapat
menjadi semacam warming
up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni
shalat lima
waktu.
Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir
yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari
menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak
membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah
dilaksanakan.
Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap
melanggengkan tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di
masjid dan mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini
tergantung pula pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai
mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid
atau mushala.
b. Dzikir
Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah
untuk meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk
mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan
lisan, melainkan membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain, dzikir mestilah
dilakukan dengan khusuk.
KH. Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir
harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu'
penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda
setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara
duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika
berdzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan
dzikir atau dengan cara
dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk
mendatangkan konsentrasi dan kekhusyu'- an. Satu sisi, memang terdapat
dalil-dalil yang menyuruh ummat muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah
lembut, dan pada sisi yang lain terdapat pula dalil yang membolehkan untuk
berdzikir dengan suara keras. NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara
al-Qur‘an dengan hadist, maupun hadist dengan hadist, tidaklah saling bertentangan,
karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan
dengan situasi dan kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir
dengan suara keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:
“Aku mengetahui dan
mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras)
apabila mereka selesai
melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra‘ juga pernah berkata: "Pernah saya
berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid
yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai
Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW
menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan
berdzikir dengan secara pelan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'd bin
Malik bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
"Keutamaan dzikir
adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang
mencukupi."
Lalu, bagaimana pendapat Ulama NU dalam
mengkompromikan dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu? Cholil Nafis,
mengutip penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
―Imam Nawawi menkompromikan (al-jam‟u wat taufiq) antara dua hadits yang
mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan
suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada
kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan
mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti
agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat
mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan
pendengaran jama‘ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat."
(Ruhul Bayan, Juz III).
Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari
Madzhab Syafi'i, sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam
kitab Al-Umm, bahwasanya
tujuan Nabi Saw. mengeraskan suaranya ketika
berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan
jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan
secara terus menerus. Masalah dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam
Fathul Mu‘in karangan Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan
rujukan kaum Nahdhiyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir
dengan suara pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat
sendirian, maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak
bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka
didapati hukum berdzikir dengan suara keras setelah shalat adalah boleh.
Jelaslah sekarang, bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk
berdzikir dengan suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi;
jika dalam kondisi ingin
mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu‘-an
maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk
mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
c. Dzikir
Berjamaah
Salah satu amaliyah warga NU yang terkenal dan
mengundang kontroversi dari Ormas lain adalah Istighasah. Arti istighasah
adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi
dengan doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan
dipimpin oleh seorang Imam istighasah.
Disebutkan dalam buku Antologi NU, bahwa dalam
skala besar, PBNU telah beberapa kali menggelas itighasah Nasional, yang
dihadiri lebih dari satu juga kaum Nahdziyin. Pernah diadakan di lapangan
Parkir Monas Jakarta, Gelora 10 November dan Lapangan Makodam V brawijaya Surabaya. Di semua tingkat
kepengurusan NU, selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang
menggunakan istilah istighasah hubro, istighasah nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU
memakai dzikir yang dibakukan oleh Jami‘iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah
an-Nahdhiyah, ijazah dari Sayikhana Chili Bangkalan.
Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir
berjamaah antara lain al-Qur‘an surat
al-Imran ayat 191:
Artinya:
(Yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya
Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Ada sementara kalangan yang tidak
menyepakati digunakannya dalil tersebut sebagai pembolehan dzikir berjamaah.
Mereka mengutip pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis
dalam “Adz-Dzikr al- Jama‟i baina al-Ittiba‟ wal Ibtida‟. Menurutnya, sighat (konteks) jama‘ dalam ayat di atas
(yakni kata ―yadzkuruna”) adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh
kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah Swt. tanpa
kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir
berjama'ah. Selain itu jika sighat
jama‘ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran
untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan
kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir
itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri,
duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?
Selain pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang
dipermasalahkan juga oleh mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat
tersebut turun kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping
beliau. Apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai
perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam buku
Risalah Amaliah NU, PCNU Kota Malang. Di sana dibeberkan dalil-dalil lain yang
membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga istighasah. Bahwa Rasulullah dan
para para sahabat pernah melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali
khandaq (parit). Rasul Saw. dan sahabat r.a bersenandung bersama sama dengan
ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..".
Cerita ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni
Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang
Tabi‘in sehingga datannya dianggap lebih valid. Pada bab Bab Hijraturrasul saw-
bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat
juga bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul saw dengan melantunkan
syair:
"Laa 'Iesy illa
'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah."
Senandung para sahabat kemudian diikuti oleh
Rasulullah dengan semangat. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), mengandung tafsir, bahwa ayat
tersebut diatas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat,
yaitu bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun secara umum
dapat juga diartikan dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat berdzikir kepada
Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis dzikir, sebagian
orang mungkin duduk, sebagian lagi berdiri dan mungkin ada yang tiduran
tergantung kondisi masing-masing individu.
Selain dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang
menyatakan anjuran untuk berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan
terang), di dalam hati, dalam sendiri maupun berjamaah.
"Bila ia (hambaku)
menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka
menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama
mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).
Selain itu, Sabda Rasulullah Saw juga telah
bersabda:
“Sungguh Allah
memiliki malaikat yang beredar di muka bumi mengikuti dan menghadiri majelis
majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan
hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia,
bila majelis selesai
maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada
mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana kalian?” Mereka menjawab: „Kami datang
dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu,
bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu, Maka Allah bertanya:
“Apa yg mereka minta?”, Malaikat berkata: „Mereka meminta sorga, Allah berkata:
„Apakah mereka telah melihat sorgaku?,
Malaikat menjawab:
„Tidak.‟ Allah berkata :
“Bagaimana bila mereka melihatnya”.
Malaikat berkata:
„Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan
dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka
telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab, „tidak.‟
Allah berkata:
„Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: „Mereka
beristighfar pada Mu.‟ Allah berkata: “Sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan
mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan
darinya.‟ Malaikat berkata:
“Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu
ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: „Baginya pengampunanku, dan mereka
(ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk
bersama mereka.”
Dzikir bersama, atau istighasah selain merupakan
doa bersama dalam rangka memohon pertolongan menghadapi permasalahan yang besar
dan jalan yang ditempuh semakin sulit, juga merupakan tandingan untuk panggung
panggung
maksiat yang dari hari ke hari kian marak saja,
menyeret pemuda dan pemudi untuk larut, sehingga sangat mungkin akan melupakan
Allah. NU menganggap istighasah atau dzikir berjamaah merupakan suatu perbuatan
yang mulia karena
berusaha menggemakan nama Allah.
F. Penentuan Awal
Bulan Qomariyah
Satu pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan
umat Islam adalah, mengapa sering terjadi perbedaan awal Ramadhan, dan jatuhnya
Hari Raya, baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban singkatnya, karena terdapat
perbedaan metode dalam penentuan awal bulan. Selain Departemen Agama—yang kini
telah berubah nama menjadi Kementerian Agama—dua ormas terbesar di Indonesia,
yakni NU dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal Ramadhan, dan
jatuhnya Idda‘in (dua hari raya). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda
dalam penetapan awal Ramadhan dan jatuhnya Idda‘in. NU menggunakan metode rukyat . Sedangkan Muhammadiyah lebih
cenderung menggunakan metode Hisab Astronomi, meski tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1. Nadhatul Ulama
Dalam menentukan kepastian awal bulan Qamariyah,
khususnya awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul „ulama‟ yang dipegangi, demikian keterangan dalam situs
resmi NU. Namun, seiring perjalanan waktu NU yang semula mendasarkan pada rukyat maju menjadi rukyat plus hisab dan seterusnya rukyat berkualitas plus hisab akurat, kemudian ditambah lagi
menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU mendasarkan kepada rukyat
berkualitas dengan dukungan hisab
yang akurat sekaligus menerima kriteria imkanur rukyat . NU telah melakukan
redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Al-Qur‘an, As- Sunnah dan menurut sains sebagai
landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya
hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal
yaitu ha-lam-lam, sama dengan terbentuknya kata fi‘il dan Hilal artinya bulan sabit yang
tampak. Dalam konteks hilal mempunyai arti:
Ù‡َÙ„َّ لهِلاَÙ„ُ dan Ù‡َÙ„َّ لهِلاَÙ„ artinya bulan sabit tampak.
Ù‡َÙ„َّ لرَّجُÙ„ُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
Ù‡َÙ„َّ لقَÙˆْÙ…ُ لهِلاَÙ„َ
artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
Ù‡َÙ„َّ لشَّÙ‡ْرُ artinya bulan (baru) dimulai dengan tampaknya bulan sabit.
Jadi menurut bahasa Arab, hilal itu adalah bulan sabit yang
tampak pada awal bulan. Firman Allah:
Artinya:
Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertakwa.
dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur‘an surat
Al-Baqarah ayat 189 di atas mengemukakan pertanyaan para
Shahabat kepada Nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT
kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk
haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat
penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat. Para
mufasir telah
mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash- Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir ayat
tersebut sebagai berikut: ―Mereka bertanya
kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal
benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut
sehingga kembali seperti keadaan semula?
Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur‟an juz I menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: ―Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana
keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar
sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali
menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya
menampakkan diri menjadi hilal dari (bulan) baru?
Jadi, berdasarkan ayat tersebut didapat pengertian,
hilal atau bulan sabit
itu pasti tampak terlihat. Masalah hilal juga sudah diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib‘i
bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai
akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyat
; perukyat
melaporkan dengan ungkapan:
-Demi Allah sungguh
telah tampak hilal kemarin sore.
Hadits tersebut menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat.
Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain.
Sementara itu hilal
atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent, yakni bagian dari bulan yang
menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika
sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah
terjadinya ijtima‘ atau konjungsi. Dari tinjauan bahasa, Al-Qur‘an, As-Sunnah
dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas, Ghazalie Masroeri
menyimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di
awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak
tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka
Rasulullah SAW menyuruh kaum muslimin melakukan rukyat, yakni dengan melihat,
mengamati
secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh, alasan NU dalam penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan pada asas ta‟abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan
kesempurnaan ta‟abbudiy tersebut perlu didukung dengan
menggunakan asas ta‟aqquliy (penalaran).
Dalam konteks ini, asas ta‟abbudiy dilaksanakan dengan mengamalkan perintah
rukyatul hilal.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama
salaf (jumhur ulama) berpendapat
bahwa penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena
terhalang oleh mendung misalnya, maka digunakan cara istikmal, yakni menyempurnakan
hitungan menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri,
tetapi metode lanjutan ketika rukyat tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw:
Berpuasalah kalian
karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya.
Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakanlah hitungan bulan
Sya‟ban sampai tiga puluh
hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan masalah yang sedang
kita bicarakan ini, merupakan metode penetapan puasa dan Idul Fitri yang
diikuti oleh semua Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi‘i).
Hanya saja kalangan Imam Syafi‘i masih mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai
dasar bagi para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais Amm PBNU Sahal Mahfudh pernah berpendapat
bahwa kedudukan hisab merupakan metode pendamping. Yakni sekadar digunakan untuk memperkirakan
(secara teoritik) apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak. Dipakainya metode hisab dalam NU hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan
pendekatan rukyat yang diputuskan dalam musyawarah ulama‘ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyat . NU beranggapan bahwa hisab penyerasian NU mempunyai
tingkat akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi‟li. Kemudian Kementerian Agama pun membuat semacam
sistem penyerasian untuk mengatasi perbedaan yang terdapat dalam berbagai
metode hisab.
Adapun tahap-tahap penentuan awal bulan Qamariah,
khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah,
perspektif NU, sebagaimana ditulis KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui
empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu falak telah berkembang di kalangan NU sejak
abad 19. Lembagalembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah
memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan
dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat;
penyelenggarakan diklat hisab dan rukyat juga digelar dari tingkat
dasar sampai
tingkat mahir yang bertujuan untuk menangani
masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya. Setiap menjelang awal tahun Hijriyah, LFNU
menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab
jama‟iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan
digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan
matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi
dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi, demikian KH A Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu
hisab dan astronomi. Rukyat yang diterima di Indonesia
ialah rukyat Nasional, yakni
rukyat yang diselenggarakan
di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia
dengan Negara lain seperti Saudi
Arabia tidaklah menjadi masalah.
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik
strategis yang telah ditetapkan (sekitar 55 tempat) di seluruh Indonesia
di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama‘ ahli
fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi
dan yang tidak bertentangan dengan syar‘i. Jadi, bukan dengan mata telanjang,
melainkan sudah dibantu dengan alat yang canggih. Setelah rukyat dilakukan, kemudian hasilnya
dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat
mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan
melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh
Indonesia.
Hal tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan
para Sahabat Nabi. Ketika para Sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka
menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah
SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul
Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam
hadits:
―Dari Abdullah bin Umar
ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu
saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat
hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah setelah dikeluarkan itsbat, maka NU
mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan) tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan
Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan
kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar ini adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah
itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam‟iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Sementara itu, dalam masalah matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah
internasional. NU menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara kekuasaan hakim
(pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla' berlaku hanya untuk wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak berlaku
bagi negara lain. Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh kawasan Nusantara berlandaskan satu kesatuan
hukum negara sehingga kesepakatan dan
keputusan pemerintah tentang awal Hijriyah
khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk seluruh negara
kesatuan RI. NU menolak adanya rukyat internasional yang berkiblat pada hasil rukyat Arab Saudi.
2. Muhammadiyah
Jika NU lebih mengutamakan
penggunaan rukyat dari pada hisab, maka Muhammadiyah cenderung menggunakan hisab, meskipun tidak melupakan metode
rukyat. Munir Mulkhan
menulis, bahwa Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyat. Namun demikian berdasarkan
perkembangan iptek dan pola kehidpan masyarakat maka pelaksanaan ru‘yat
dilakukan dengan
menggunakan hisab.
Dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar tanggal 1–7
Mei 1932, salah satu butir keputusannya: “As-Shaumu
wal fithru bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab” (Berpuasa dan berbuka
[berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab‖). Sementara itu dalam Muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 tentang
Hisab dan Rukyat
diambil kesimoulan bahwa:
a). Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai pedoman penetapan awal
bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
b). Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
c). Matlak yang digunakan adalah matlak yang
didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
d). Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan Qamariyah
tersebut membelah wilayah Indonesia
maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain hal tersebut di atas Tarjih dalam HPT
menjelaskan sebagaimanana uraian berikut:
Berpuasa dan ‗Ied Fitrah itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab. Dalil-dalil yang digunakan
sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman Allah:
Artinya:
Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus: 5)
Juga Firman Allah:
Artinya:
"Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya"
(Q.S. Yaasiin :40).
Artinya:
"Matahari dan
bulan (beredar) menurut perhitungan" (Q.S.
Ar-Rahmaan: 5).
Hadis Nabi Muhammad Saw:
Berpuasalah karena
melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka
bilamana tidak
terlihat olehmu, maka sempurnakanlah bilangan sya‟ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari).
Juga hadis lain yang artinya:
"Dari Kuraib
(diriwayatkan bahwa) sesunggguhnya Ummu Fadhl binti al-Harits mengutusnya
menemui Mu'awiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan
melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan sementara saya berada di
negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari Jum'at, selanjutnya saya
kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadaan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya
kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal?
Saya menjawab : Kami melihat hilal pada malam hari Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah
kamu sendiri yang melihatnya ? maka Jawab Kuraib, benar, dan orang yang lain
juga melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah
ibn Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilal pada malam hari Sabtu, karenanya
kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri.
Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu (Abdullah bin Abbas) tidak cukup mengikuti
rukyatnya Mu'awiyah (di Syam) dan puasanya. Abdullah bin Abbas menjawab: Tidak,
demikianlah yang Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).
Selanjutnya, Tarjih Muhammadiyah menyatakan apabila
Ahli Hisab menetapkan
bahwa bulan tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada
mu‘tabar, maka Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu‟tabar.
Hal ini di dasarkan hadis yang artinya: ―Menukil
hadis dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat
tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempunakanlah bilangan bulan Sya‟ban 30 hari (HR. Bukhari dan Muslim)
Ismail Thaib, dalam Majalah Suara Muhammadiyah
pernah menulis bahwa Putusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagaimana
disebutkan di muka, yakni “As-Shaumu wal fithru
bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab”
( Berpuasa dan berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab ) merupakan putusan yang
bijaksana. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa selama ini Muhammadiyah
cenderung mengedepankan metode hisab dari pada rukyat. Ismail secara rinci mencoba menjelaskan kembali masalah hisab sebagai metode yang digunakan
oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idul Fitri dan
Idul Adha, secara lebih mendalam dilihat dari sudut pandang syariat Islam.
Menurutnya, perintah Nabi Saw dalam sabdanya yang artinya: ―Berpuasalah kamu
karena melihat bulan dan berbukalah (berhari raya) kamu karena melihat bulan. mesti
ditafsirkan tidak sempit. Bahwa perintah Nabi itu dan Hadits-hadits lain yang
semakna dengan itu masih bersifat lepas (mutlak) belum dikaitkan dengan illat. Oleh karenanya, demikian
Ismail, apabila ada nash (Hadits) lain yang memautkan perintah itu dengan suatu
illat, maka ketika
itu persoalannya menjadi lain, menjadi berbeda dan illat itu ada pengaruhnya dalam pemahaman
Hadits tersebut dan hukum berjalan sesuai dengan illat itu dalam penjabaran (tathbiq) atau operasionalnya. Penggunaan
metode hisab oleh
Muhammadiyah didasarkan pada alasan, salah satunya adalah Hadits Nabi
sebagaimana tersebut di atas, bukanlah satu satunya hadits dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits
lain yang lebih jelas menjelaskan illat-nya, yaitu hadits riwayat Muslim dan lain-lainnya, di mana Nabi bersabda
yang artinya:
“Sesungguhnya kita
ummat yang ummi (buta aksara) tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung (hisab),
bulan itu begini dan begini”
Hadits di atas menurut Ismail, dianggap pokok dalam
masalah hisab, karena seakan-akan
Rasulullah mengatakan bahwa berpegang kepada rukyat
lantaran kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum
mengenal ilmu hisab.
Di dalam sebuah buku tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah, disebutkan bahwa
dalam konteks ke-Indonesiaan penggunaan hisab
lebih memungkinkan dan lebih praktis karena dapat menentukan
tanggal jauh sebelumnya dan dapat menentukan masa depan secara lebih pasti,
sehingga persiapan-persiapan dapat
dilakukan secara lebih tepat perhitungan dan jauh
sebelumnya. Perhatian dan orientasi ke depan adalah salah satu prinsip ajaran
Islam dan sekaligus cermin sikap modern. Selain itu penggunaan hisab ini juga mencerminkan
kepercayaan
Muhammadiyah kepada ilmu pengetahuan, yang juga
merupakan prinsip ajaran
Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik
Indonesia
yang "besarnya hampir sama", maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan
menggunakan kriteria wujudul hilal nasional dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kriteria wujudul
hilal nasional merupakan teori di mana awal bulan Qamariah
dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction) matahari tenggelam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset); pada saat itu posisi bulan di
atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia.
Artinya pada saat matahari terbenam (sunset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Namun jika garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik
Indonesia
dan sebagian besar sudah wujud maka diberlakukan konsep matla‟ sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas
Tarjih di Makassar.
G. Tawasul
Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain
tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri
(tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya.
Bagi warga NU berdoa dengan cara bertawasul
(melalui perantara) bukan lagi hal yang dianggap aneh. Sementara kaum
Muhammadiyah tidak sependapat dengan cara berdoa dengan bertawasul.
Berdoa dengan wasilah itu sendiri ada beberapa
macam, antara lain bertawasul dengan amal sholih, dengan asma‟ul husna, orang sholih yang masih hidup, dan bertawasul dengan Nabi dan
wali yang sudah meninggal.
Bagi warga NU bertawasul dengan hal-hal di atas,
termasuk dengan Nabi dan wali yang sudah meninggal hukumnya adalah sunnah.
Sementara bagi Muhammadiyah, bertawasul yang dibolehkan hanyalah tawasul dengan
dengan
asma‘ul husna, orang sholih yang masih hidup,
sementara tawasul dengan orang
yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan, bahasa
ekstrimnya adalah haram,
karena bisa mengarah kepada perbuatan syirik.
Muhammadiyah tidak secara khusus membahas masalah
tawasul dalam HPT. Dalam HPT hanya terdapat tuntunan cara berdoa, dan tuntunan
ziarah kubur yang bisa dijadikan rujukan, bagaimana Muhammadiyah menolak berdoa
dengan menggunakan wasilah orang sholih yang sudah meninggal. Sementara itu,
dalam sebuah situs resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, terdapat pula
artikel tanya jawab masalah agama yang mengupas pendapat yang tidak membenarkan
tawasul.
Lebih jauh tentang tawasul, marilah kita simak
pendapat serta dasar-dasar mensunahkan dan melarang bertawasul dari NU dan
Muhammadiyah. Mungkin
lebih tepat jika mulai dari pendapat yang
mensunnahkan, baru setelah itu menuju ke pendapat yang menolak dan melarang.
1. Nahdhatul Ulama
KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah
Nahdlatul Ulama
(LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul
adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan
mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan
demikan dapat dilihat dalam surat
Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
(al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa,
bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama
madzhab Hambali menyebtukan bahwa bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal
saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan
diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Melalui doa. Antara lain dengan menyebut amal
saleh yang pernah dilakukan. Tuuannya berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaiakan
itu diterima oleh Allah swt. Juhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana
hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yangt erkurung di
dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan
amal yang pernah diperbuatnya,
3. Malaui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah
swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Hanya milik Allah
asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‘raf: 180)
4. Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di akhirat
nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin akan
mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa besar.
5. Melalui panggilan. Tawasul dalam bentuk ini
dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut Sayid
Muhammadi Malik
al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh.
Berdsarkan beberapa riwayat, antara lain: ―Mujahid meriwayatkan bahwa dia
melihat seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata:
―Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai. Orang sakit tersebut lantas
menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh.
Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul
juga bisa dilakukan dengan orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah
meninggal yang dijadikan wasilah biasanya adalah para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya.
Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makammakam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang
sudah meninggal adalah firman Allah surat
an-Nisa ayat 64:
Artinya:
Dan kami tidak
mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon
ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang..(QS.An-Nisa‘ :64).
Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah
Nahdhiyin (PCNU Kota Malang),
bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian
ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat
dan berpindahnya ke alam
barzah. Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:
"Dari Abu Sa'id
al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Seseorang dari rumahnya
hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohonkan
ampun untuk orang tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”.
(HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz
Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan
shalat adalah:
Para ulama; berkata, "Ini adalah tawasul yang jelas dengan semua
hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada
sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dan semua orang salaf dan sekarang
selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pergi sholat." Abu Nu'aimah
dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
Dari Anas bin Malik
ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra
meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
“Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalahMaha Hidup, tidak
mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur
dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku,
sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang
berbunyi: “Dengan hak para nabi sebelumku”.
Dalam hadis lain juga
disebutkan: Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai
Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni
kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal
belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika
menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku
melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku
mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk
yang paling Engkau cintai.”
Kemudian Allah
berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah makhluk
yang paing Aku cintai.
Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan
andaikata tidak karenaMuhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa
Nabi Adam a.s adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah, Jika
tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din
al-Khottob tawasul dengan
al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW. Diketahui Sahabat
Umar bin Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib
ketika berdoa memohon hujan.
Dari Anas bin Malik
r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Umar Ibn Khaththab
bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian berdoa, “Ya Allah, kami
pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw, maka engkau turunkan
hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada
kami.”(HR. Bukhari)
Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama‘ telah
menjelaskan: ―Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah
dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar
bin al-Khottob dengan al- Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan
kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa.
Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk
memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga
pernah dilakukan pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan
bahwa para sahabat selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah
beliau wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah
dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya
orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena
kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra datang ke kuburan Rasulullah
SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka
telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata:
datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka,
bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu datang kepada kholifah Umar dan menyampaikan
berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Karena itu, demikian KH. A Nuril Huda, berdo‘a
dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak
disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan
orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT
karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: ―Tidak ada yang bisa mencegah
terhadap apa yang
Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau
(Allah) mencegahnya.
KH A Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan
pendapatnya tentang bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah mati. Sebab
ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya
saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di
alam barzakh yang mana mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk
diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang
artinya:
―Apabila manusia telah
mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah
jariyah, atau ilmu yang bermanfa‟at atau anak shaleh yang mendo‟akan. (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan
Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa‘i juz VI.
Hadits di atas menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya
tawasul, sebab apabila
manusia telah meninggal dunia itu putus segala
amalnya untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur
mendo‘akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Ketika melintasi kubur kita disunnahkan untuk
mengucapkan salam kepada ahli kubur, sebagaimana pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Menurut Nuri, ahli kubur juga akan menjawab salam yang kita
ucapkan. Dengan demikian, lanjutnya, mendo‘akan orang tua, kemudian orang tua
di alam barzah mendo‘akan kepada yang berdo‘a agar selamat, hal ini tidak ada
larangan dalam agama. Baik orang yang berdo‘a maupun ahli kubur seluruhnya
memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo‘a di dunia, itu tidak
meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat
apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Perlu diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi
yang disebut mahallul qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika dibacakan shalawat:
Wahai Nabi salam
kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu Berkaitan dengan tawasul KH
Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan bahwa dalam kalimat‖Wahai
Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu ; yang diucapkan, seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi
dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah
saw.
Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap
shalat, kita juga selalu Mengucapkan Salam kepada Engkau wahai Nabi KH Musthofa Agil Siradj menjelaskan bahwa redaksi dari doa
tersebut diharuskan
memakai kata ganti ( Ù…َ )atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu
atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib ( Ù‡ُ ) atau dia, atau beliau. Kita
menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW
hadir di hadapan kita.
Maka pada setiap doa, setelah kita berucap Alhamdulillah segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru
setelah itu kita sampai pada inti
dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama
Muhammad SAW, demikian pendapat KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun praktek pelaksanaan
tawassul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan
hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
1. Memohon (berdoa) kepada Allah
SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh: “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau
dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi
SAW untuk…”
2. Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon
kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
“Ya Rasulullah,
mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau……”
3. Meminta sesuatu yang
dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab
Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dan
karena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua memiliki
dasar hukum yang jelas.
Dalil tawasul dengan cara yang pertama
adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari autsman bin
Hunaif ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan
berkata: “Ya Rasululah, berdo‟alah kepada Allah agar
menyembuhkan saya.”
Beliau bersabda: “jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah
(dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.” Laki-laki itu
berkata: “berdo‟alah untuk saya,
karena mataku benar-benar memberatkan merepotkan)ku.” Kemudian Nabi SAW
memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua raka‟at, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui
kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu
dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu
melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan
dapat melihat.”
Hadist tersebut, bagi kalanggan
yang membolehkan tawasul, dianggap jelas bahwa di sana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk
kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa
dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada
Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas
tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus
untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik
semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi
hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul. Dengankan
dalil tawasul dengan cara kedua antara lain hadist dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW
berkhutbah pada hari Jum‟at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dari pintu masjid dan
langsung menghadap kepada Nabi SAW seraya berteriak: “Hai Rasulullah, harta
benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah
supaya menghujani kami. Rasulullah SAW lalu mengangkat tangan dan berdo‟a” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata:
“Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu
juga hari berikutnya. Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan
berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. “Kemudian
Beliau berdoa: “ Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,”
kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits tersebut ada
petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada
Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang
yang dicintai Allah yang dijadikan oleh- Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat
hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih
berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak
ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang
yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah dengan kedudukan dan kemuliaan para
kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang
dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa. kecuali
ta‘at kepada-Nya.
Sedangkan dalil dati cara
tawasul yang ketiga antara lain hadis dari Rabi‟ahbin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku:
“Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada- Mu
dapat bersamamu di surga.”
Beliau bersabda:
“Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” kemudian beliau bersabda: “Bantulah
saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
Jadi, menurut kalangan NU,
tawasul dengan orang mati tidak jadi masalah, malah justru dianjurkan,
lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw. NU berpendapat bahwa tidak ada
unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang
yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin,
pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul
dengan amal perbuatan mereka yang shaleh. Karena memang, tidak mungkin kita
bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma‘siat, pendosa yang
menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
2. Muhammadiyah
Sebagaimana telah penulis
sebutkan di awal bab ini, bahwa dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat keterangan
yang rinci mengenai masalah tawasul.
Namun demikian, penulis
mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak sependapat dengan berdoa dengan
cara bertawasul (melalui wasilah atau perantara). Hal ini bisa dilihat dari apa
yang terjadi di dalam warga Muhammadiyah, yang tidak memiliki tradisi
bertawasul sebagaimana di NU, seperti pembacaan kitab barzanji, haul,
sholawatan berjamaah, atau pun tradisi ziarah Walisanga. Lebih jelas lagi,
ketika penulis mendapati sebuah artikel di situs
Pimpinan Daerah Muhammadiyah
Bontang. Sebuah artikel yang menolak cara berdoa dengan bertawasul, khususnya
tawasul kepada orang yang sudah meninggal.
Tuntunan cara berdoa,
sebagaimana dimuat dalam kitab HPT Muhammadiyah hanya menyebutkan bahwa doa itu
diawali dengan memuji Allah, shalawat Nabi lalu menyampaikan isi doa, kemudian
diakhiri dengan membaca hamdalah. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu
dawud,, at- Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al0 Baihaqy serta surat Yunus ayat 9-10. Nukilah
hadis dan ayat tersebut di atas ialah sebagai berikut:
Allah berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi
petunjuk oleh Tuhan mereka Karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-
sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan. 10. Do'a, mereka di dalamnya
ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam".
dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin". (Q.S Yunus: 9-10)
Rasulullah saw bersabda, yanga
artinya:
Apabila berdoa salah seorang
di antaramu, mulailah dengan memuji Allah, kemudian membaca shalawat Nabi saw
kemudian barulah memohon apa yang dikehendaki (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al- Baihaqy)
Selain dari pada keterangan
tentang cara berdoa, penulis juga mendapati penolakan Muhammadiyah terdapap
cara doa dengan bertawasul. Dalam kitab HPT Muhammmadiyah menjelaskan masalah
ziarah kubur, tarjih menyatakan: dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang
tiada diiszinkan oleh Allah dan Rasul- Nya, seperti: meminta-minta pada mayat
dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah.
Hal tersebut di dasarkan pada
firman Allah surat
Yunus ayat 106, sebagai berikut:
Artinya:
Dan janganlah kamu
menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka
Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim".
Juga firman Allah surat az-zumar ayat
tentang tindakan orang musyrik Mekah, ketika menyembah kepada berhala-berhala,
mereka mengatakan bahwa berhala itu untuk mendekatkan kepada-Nya
sedekat-dekatnya. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Ingatlah, Hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.(Q.S Az-Zumar: 3)
Jelaslah sekarang, bahwa
Muhammadiyah tidak menyepakati adanya tawasul kepada orang yang sudah meninggal
(mayat). Salah satu dalil aqli yang digunakan adalah, bahwa orang yang sudah
meninggal sudah tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa mendengar.
Lalu bagaimana dengan tawassul
kepada Nabi Saw?
Dalam kumpulan Fatwa dan
Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, sebagaimana terdapat di situs Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Bontang, disebutkan bahwa bertawasul kepada Nabi saw bila
hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap
perintah dan meninggalkan laranganlarangan beliau serta ikhlas semata karena
Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan inilah
dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi
setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat) serta merupakan sarana
dalam mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Sementara itu menjadikan Nabi
sebagai perantara doa kita, yakni bertawassul dengan cara meminta kepada
beliau, beristighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi
musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, menurut Saikh Ibnu Baz adalah
termasuk syirik yang paling besar. Dari pendapat tersebut didapati pengertian
bahwa berdoa dengan cara bertawasul kepada Nabi adalah haram. Demikian pula
berdaa dengan cara bertawasul kepada selain Nabi Muhammad saw, seperti
Nabi-Nabi yang lain, para wali, jin, malaikat.
Lebih jauh Saikh Ibnu Baz
menegaskan bahwa disamping tawasul dengan cara di atas, juga tidak dibenarkan
bertawasul dengan melalui jah (kedudukan) Nabi saw, hak atau
sosok beliau, sebagai contoh ucapan seseorang, ―Aku memohon kepadamu, Ya Allah, melaui nabi-Mu, atau melalui jah
nabi-Mu, hak nabi-Mu, atau jah para nabi, atau hak para nabi, atau jah para
wali dan orang-orang shalih, dan semisalnya.
Dasar pengharaman itu ialah
karena, menurutnya, Allah swt tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara
masalah ibadah bersifat tauqifiyah (bersumber kepada dalil-penj) sehingga tidak
boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang
melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Bertawasul itu boleh, demikian
Saikh Ibnu Baz, bila kepada orang-orang yang masih hidup, seperti ucapan anda
kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang dianggap
baik, ―Berdoalah kpada Allah untukku agar mrnyembuhkan penyakitku!, atau ―agar memulihkan penglihatanku‘.
―menganugrahiku keturunan, dan
semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma‘ (Kesepakatan) Para ulama.
Rujukan tentang tawasul yang dibolehkan dan diharamkan yang digunakan oleh
Saikh Ibnu Baz, antara lain kitab Syaikul Islam, Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang berjudul ―al-Qa‘idah al-Jalilah Fi at-Tawassul
wa al-wasilah.
H. Tahlil
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah
―syahadah yaitu ―La ilaha illa Allah ( ا اله ). Dalam konteks Indonesia,
tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan
dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi
amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah
tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil
juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula
tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa
musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang
diundang untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak
bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang
telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa
acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan
diperintahkan rasulullah
(bid‘ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala
dari membaca ayatayat al-Qur‘an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang
yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca
al-Qur‘an, dan bacaan
lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang
yang sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi,
dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur‘an dan
hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang
digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih
jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan
penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
1. Muhammadiyah
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama
Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang
menyebar luas di Indonesia,
khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah
Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam,
Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan
tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa
itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan
Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang
meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi
itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah
Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan
Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi
selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang
meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada
sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil
pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui
dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk
melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian
dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari
tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di
kalangan umat Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara
Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton
terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at
dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton
mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja,
labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga
berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang
yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam
kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi
kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal
dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia
sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok
yang menyertai tahlil, yaitu;
1. Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada
jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
2. Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan
dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan
Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal
dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul.
Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya,
maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang artinya:
“Barangsiapa yang
mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya,
maka perbuatan itu tertolak.”
[HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel
yang berjudul
―Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?, sebuah
artikel yang bersumber dari MTAonline.
Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi
Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang
yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati
kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa
Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal,
di antaranya Hamzah, sisinga padang
pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati
kematian pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat,
tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin.
Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw.
Setelah Abu Bakar
wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga
tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra.
Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian
Rasulullah saw.
Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau
Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak
pernah ada yang memperingati kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan
termasuk ajaran Islam, sebab yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah
saw dan para sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil,
Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
“Apabila manusia telah
mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga
digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah
memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala
doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal
yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa
dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama
sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga
mendasarkan argumentasinya pada al-Qur‘an surat
an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An‘am 164, yang mana dalam
ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang
telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Artinya:
Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Artinya:
Dan orang-oranng yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan
kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Artinya:
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Artinya:
Katakanlah:
"Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah
Tuhan bagi segala
sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS. al-An‘am
(6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang
menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi
dalam Syarah Muslimnya, di sana
dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana
disebutkan dalam dalam al-Qur‘an surat
an-Najm ayat 39 di atas.
Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al
Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan
yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan
bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa
seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri,
bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.
(Al Umm juz 7, hal
269).
Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak
menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ
tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al
Umm, juz I, hal 248).
Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa
penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang
banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5
hal 286).
Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih
Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya
membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit.
Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah
bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga
Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”.(H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah
tahlil. Penolakannya
terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki
dasar. Lalu, bagaimana pendapat
NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU
sehingga sampai sekarang
masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji
bersama-sama.
2. Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa
maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana
ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan
tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui
Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran
kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian
kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah
meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun
kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa
dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah,
takbir, shalawat, tasbih,
beberapa ayat suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan
hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam
pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari
ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun
dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah
pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para
jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan
matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan
matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the,
telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai
manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis,
tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan
dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk
tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di
tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa
menyebarkan ajaran Islam di Indonesia
adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara
dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi
Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu
berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka
sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan
mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak
serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah
tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan
tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH
Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang
sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang
bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan
dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal
Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan
ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah,
dengan meningkatkan dzikir kepada Allah. Mari kita lihat
perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang
dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga
tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya
berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian
dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah,
ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai
Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan
menyuguhkan makanan. (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil
Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya
boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk
ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya
termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada
orang telah meninggal.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di
balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak
menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang
artinya:
Dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW,
Sesungguhnya ibuku
telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?"
Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun,
maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas
nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan
dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa
sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak,
sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara
sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit
tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu
berupa berkat adalah hukumnya
boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan
makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu secara
ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara
tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana
ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil
Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya
dihadiahkan kepada mayit.
Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit,
pahalanya akan sampai kepada mayit.
Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan
dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa
seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW.
“Sesungguhnya ibuku
telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah.
Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”.
(HR. Muttafaqu alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat
ditemukan dalam haditshadits
yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah
sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu
telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang
bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh
rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:
'Tatkala manusia
meninggal maka
putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr.
Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal
Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai
berikut:
―Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas
kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia,
dengan hadist bahwa
sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk
mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada
mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala
dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka
itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan
kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya
diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil
merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil
merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati
dengan sunnah Nabi Muhamamd saw.
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa
untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal. Allah
swt berfirman:
Artinya:
Orang-orang yang
datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Artinya:
Maka Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil
dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak
hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan
tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat,
Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi
kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah,
maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua
unsur, yaitu syarat dan rukun. Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil
adalah:
1. Surat
al-Ikhlas
2. Surat
al-Falaq
3. Surat
an-Nas
4. Surat
al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5
5. Surat
al-Baqarah ayat 163
6. Surat
al-Baqarah ayat 255
7. Surat
al-Baqarah ayat dari ayat 284 sampai ayat 286
8. Surat
al-Ahzab ayat 33
9. Surat
al-Ahzab ayat 56
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat,
Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah
bacaan:
1. Surat
al-Baqarah ayat 286
2. Surat
al-Hud ayat 73
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah “ALLAH”
6. Tasbih
Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas
memiliki keutamaannya masingmasing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis
Nabi saw. Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa ―orang yang menyebut
“la ilaha illa Allah”
akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil
biasanya juga membaca surat
Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi
SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya
umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang telah meninggal
dunia.
Dari Mu‘aqqol ibn Yassar r.a: "barang siapa membaca surat
Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,
maka bacakanlah surat
yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R.
Al-Baihaqi, dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman)
Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan
surat-surat al-Qur‘an
serta bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan
tahlil yang akan terlalu
panjang jika semuanya ditulis di sini.
Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara
berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU
dan Muhammadiyah.
Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri.
Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi kontroversi Ulama,
adalah membaca surat
al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama
melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang
lain,
biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah
yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat,
kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal. NU berpendapat
bahwa membaca surat
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah
boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil,
salah seorang tokoh besar
madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan
menghadiahkan bacaan Al-
Qur'an kepada Nabi SAW.
Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut
dalam Raddul Muhtar 'Alad-
Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi
seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di
dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan
dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan.
Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya
dan membalas budi baiknya.
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya)
memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil
sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma)
karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam
tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap
Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan
mengatakan:
“Ya Allah berikanlah
rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A‟lam.” (lihat
dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral
Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat
dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari
dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, yang mengatakan:
"Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun
beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya,
karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak
melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah
diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah
untuk para wali dan orangorang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya
ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi
tradisi NU, dan tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah
haul, barangkali tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara
haul yang ditradisikan oleh NU
dipastikan ada pembacaan tahlil. Haul adalah
peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk
memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh.
Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah
ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam
keluarga Baqi‟. Beliau mengucap
salam dan mendoakan mereka atas amalamal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi
disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW
mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun.
Jika telah sampai di
Syi‟ib (tempat makam
mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu‟alaikum bimâ shabartum fani‟ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats
kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling
nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama,
bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip
A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada
yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada
yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang
diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim
satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan
dari para pendahulu;
juga menjadi forum penting untuk menyampaikan
nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang
intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang
mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau
tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga
membaca ayat suci al- Qur‘an serta bacaan
dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada
Allah agar doanya diterima untuk mayit.
I. Hukum (Me)Rokok
Pada abad ke XI Hijriah atau 15 masehi rokok baru
mulai dikenal dalam dunia Islam, tepatnya pada masa dinasti Ustmaniyah yang
berpusat di Turki.
Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang
mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh
para Ulama pada masa itu pun seketika berijtihad, berusaha menetapkan hukum
tentang merokok, yang kemudian keluarlah fatwa bahwa hukum merokok adalah
makruh.
Hingga lima
abad setelah itu, merokok masih menjadi bahan perdebatan di kalangan Ulama.
Kontroversi seputar penetapan hukum merokok tak bisa dihindarkan, termasuk
dikalangan Ulama NU dan Muhamamdiyah.
Pada tahun 2005 Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih
dan Tajdid-nya telah menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah
merokok hukumnya mubah. Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap
tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam
Halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret
2010 M yang isinya mengatakan bahwa merokok adalah haram.
Sementara NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan
bahwa hukum merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung
tergantung dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Lebih
jelasnya mengenai fatwa hukum merokok dari NU dan Muhammadiyah, marilah kita
jabarkan satu persatu.
1. Muhammadiyah
Hukum Islam (fiqh), sebagaimanya kita ketahui
bersama, dapat berubah tergantung dengan situasi dan kondisi di mana hukum itu
diterapkan. Demikian halnya dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah
tentang hukum merokok. Bahwa pada tahun 2005 Majelis Tarjih dan Tajdid
memfatwakan mubah dikarenakan belum cukupnya data-data dan informasi yang
diterima oleh para perumus fatwa. Dan setelah dilakukan kembali beberapa kajian
dengan mengundang para ahli kesehatan, demografi dan sosiolog maka Majlis Tarjih
dan Tajdid merubah fatwa bahwa merokok mubah menjadi haram. Dengan dikeluarkan
fatwa baru ini, maka fatwa sebelumnya tentang merokok adalah mubah dinyatakan
tidak berlaku.
Dalam amar fatwa haram rokok yang dikeluarkan
Muhammadiyah disebutkan bahwa: Wajib hukumnya
mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak
setiap orang dan merupakan bagian dari
tujuan syariah (maqâshid asy-syarî‟ah).
Adapun dalil atau dasar diharamkannya rokok,
adalah:
Pertama, bahwa merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabâ‟its
yang dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur‘an:
Artinya:
(yaitu) orang-orang
yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (al-A‘raf: 157)
Kedua, Agama Islam (syariah) melarang menjatuhkan diri ke dalam
kebinasaan dan perbuatan bunuh diri. Pendekatan
yang digunakan oleh Majlis tarjih dan tajdid Muhammadiyah dalam menetapkan hukum merokok adalah dengan melihat akibat
yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan
tersebut.
Dalam tanya jawab, berkaitan dengan fatwa haram
merokok dari Muhammadiyah, sebagaimana dimuat dalam Muhammadiyah Online, bahwa rokok ditengarai
sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung 4000 zat kimia, di antara
zat kimia tersebut berdasarkan penelitian terbaru, menyebutkan bahwa terdapat
200-an racun yang berbahaya yang dalam sebatang rokok. Sementara itu Badan
Kesehatan Dunia WHO menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang
meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang
yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Sanghai Cina adalah disebabkan
rokok.
Juga terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa 20
batang rokok per-hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat
asasi pembentuk
darah merah. Racun utama pada rokok adalah tar,
nikotin dan karbon monoksida.
Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat
lengket dan menempel pada paruparu. Nikotin adalah zat adiktif yang
mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu
memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang
mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap
rokok mengalami resiko14 kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan
tenggorokan dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
Penghisap rokok, berdasarkan penelitian, juga punya
kemungkinan 4 kali lebih besar untuk terkena kanker esophagus dari mereka yang
tidak menghisapnya.
Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar
terkena serangan jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi
penderita pneumonia dan gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Menggunakan rokok
dengan kadar nikotin
rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti
kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara
lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama.
Apa yang penulis deretkan di atas dijadikan dasar
utama Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa haramnya merokok, yang intinya adalah
karena ―merokok memiliki madharat yang sangat besar. Karena madharatnya dianggap
sangat besar,
maka merokok merupakan perbuatan yang mengandung
unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh
diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan larangan Alquran:
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh
semua (mahluk) yang dapat mela'nati. (Q.S. Albaqarah: 159)
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
(Q.S. Annisa: 29)
Merokok juga bertentangan dengan prinsip syariah
dalam hadis Nabi saw:
“tidak ada perbuatan
membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
Ketiga, merokok tergolong perbuatan mubazir, dan ini jelas dilarang
dalam Islam. selain merugikan kesehatan, merokok juga meningkatkan angka
kemiskinan, demikian menurut Muhammadiyah. Dari data yang diperoleh keluarga
termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok
pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran
keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga
terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8%. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok
pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan
balita.
Dengan demikian berarti merokok melakukan perbuatan
mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam al-Qur‘an:
Artinya:
Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Israa‘:
26-27)
Keempat, merokok tidak hanya berdampak buruk bagi diri si perokok, tetapi
juga bagi anggota keluarga, dan orang-orang disekitar si perokok. Dan Islam
telah melarang menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan pada
orang, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang artinya:
Tidak ada bahaya
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain (HR. Ibn Majjah,
Ahmad, dan Malik).
Kelima, Perbuatan merokok oleh Muhammadiyah juga dikategorikan sebagai
perbuatan yang melemahkan sehingga bertentangan
dengan hadis Nabi saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan
melemahkan, sebagaimana hadis riwayat Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang artinya:
Dari Ummi Salamah
bahwa Rasulullah saw melarang setiap yang memabukkan dan setiap yang
melemahkan. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan
syariah (maqâshid asysyarî‟
ah) yaitu (1) perlindungan agama (hifzh
ad-dîn), (2) perlindungan jiwa/raga
(hifzh an-nafs), (2) perlindungan akal (hifzh al-aql), (4) perlindungan keluarga (hifzh
an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifzh al-mâl).
Bahwa Agama Islam (syariah) mempunyai tujuan
(maqa‘id asy-syari‘ah)
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia.
Perlindungan terhadap agama dilakukan dengan peningkatan ketakwaan melalui
pembinaan hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada
sesama dan kepada alam lingkungan dengan mematuhi berbagai norma dan petunjuk
syariah tentang bagaimana berbuat baik terhadap Allah, manusia dan alam
lingkungan.
Perlindungan terhadap jiwa/raga diwujudkan melalui
upaya mempertahankan suatu standar hidup yang sehat secara jasmani dan rohani
serta menghindarkan
semua faktor yang dapat membahayakan dan merusak manusia
secara fisik dan
psikis, termasuk menghindari perbuatan yang
berakibat bunuh diri walaupun secara perlahan dan perbuatan menjatuhkan diri
kepada kebinasaan yang dilarang di dalam al- Quran. Perlindungan terhadap akal
dilakukan dengan upaya antara lain membangun manusia yang cerdas termasuk
mengupayakan pendidikan yang terbaik dan menghindari segala hal yang
bertentangan dengan upaya pencerdasan manusia. Perlindungan terhadap keluarga
diwujudkan antara lain melalui upaya penciptaan suasana hidup keluarga yang
sakinah dan penciptaan kehidupan yang sehat termasuk dan terutama bagi
anak-anak yang merupakan tunas bangsa dan umat. Perlindungan terhadap harta
diwujudkan antara lain melalui pemeliharaan dan pengembangan harta kekayaan
materiil yang penting dalam rangka menunjang kehidupan ekonomi yang sejahtera
dan oleh karena itu dilarang berbuat mubazir dan menghamburkan harta untuk
hal-hal yang tidak berguna dan bahkan merusak diri manusia sendiri. Namun
demikian, perlu juga disebutkan bahwa fatwa haram merokok dari Muhammadiyah
tersebut ditetapkan dengan mengingat prinsip at-tadriij
(berangsur), at-taisiir
(kemudahan), dan „adam al-kharaj (tidak mempersulit). Artinya,
mereka yang telah terlanjur menjadi perokok wajib
melakukan upaya dan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berhenti dari
kebiasaan merokok dengan mengingat al-Qur‘an:
Artinya:
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik,” (QS. Al-Ankabut: 69),
Juga berdasarkan firman Allah:
Allah tidak akan
membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya; ia akan mendapat hasil
yang ia usahakan dan memikul akibat perbuatan yang ia lakukan. (QS. Al-Baqarah: 286)
Selain itu, upaya yang dilakukan oleh para perokok
untuk berusaha menghentikan kebiasaan merokok fatwa tersebut juga
merkomendasikan kepada
pusat-pusat kesehatan di lingkungan Muhammadiyah
untuk mengupayakan adanya fasilitas dalam memberikan terapi guna membantu orang
yang berupaya
berhenti merokok.
Sementara bagi mereka yang belum atau tidak merokok
wajib menghindarkan diri dan keluarganya dari percobaan merokok, sesuai dengan firman
Allah:
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api... (Q.S. At-Tamrin: 6)
2. Nahdhatul Ulama
Hukum merokok menurut sebagian besar ulama NU
makruh. NU menyadari bahwa kebiasaan merokok baru dikenal di dunia Islam
semenjak awal abad XI
hijriyah dan sejak itu hukum rokok atau merokok
telah dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun
pribadi. Di sebabkan tidak ada dalil dari al-Qur‘an maupun hadis yang secara
khusus menjelaskan masalah hukum merokok, maka perbedaan mengenai hukum merokok
pun tidak dapat dihindarkan. Hukum merokok berkutat pada perbedaan haram, mubah
dan makruh. Membaca artikel yang ditulis KH Arwani Faishal di situs resmi NU
berjudul Bahstul Masail tentang Hukum Merokok tidak didapatkan keterangan yang secara tegas mengatakan bahwa
merokok hukumnya ini atau itu; mubah, haram, atau makruh. KH Arwani, wakil
ketua lembaga Bahstuhl Masail ini mencoba memandang dari bebagai perspektif
tentang fatwa-fatwa seputar hukum rokok, tidak secara tegas memilih pendapat
mana yang paling kuat. Ia menyatakan bahwa pengharaman rokok pasti akan
mendapat penolakan dari orang-orang yang tidak sepaham. Ia menulis: “Seandainya muncul fatwa, bahwa
korupsi itu hukumnya
haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan
sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika
merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula
kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh
terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak
belakang.”
Memang terdapat nash al-Qur‘an dan sunnah yang
melarang manusia untuk berbuat kerusakan, kemudharatan dan kemafsadatan. Namun
begitu dalil tersebut memiliki sifat yang umum sehingga sangat niscaya Ulama menafsirkannya
berbedabeda. Dalam surat
al-Baqarah Allah berfirman:
Artinya:
Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Dalam hadis juga disebutkan:
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata; Rasulullah SAW.
bersabda: Tidak boleh berbuat
kemudaratan (pada diri
sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah)
Para ulama fiqih, termasuk juga Ulama NU, memang telah sepakat bahwa segala
sesuatu yang membawa kepada kemadharatan adalah haram. Namun demikian, jika
muncul pertanyaan apakah merokok membawa kemadharatan? Apakah merokok tidak
memiliki manfaat? Akan selalu berbeda satu jawaban dengan yang lainnya. Lain
lagi jika seandainya semua sepakat, bahwa merokok
tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi
relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram. KH Arwani Faishal selanjutnya membagi
pendapat seputar rokok menjadi tiga macam, yakni:
Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang
tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat
dinyatakan, bahwa hakikat rokok
bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif
kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa
banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa
rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru,
jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general,
dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi
tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap
person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya,
baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya.
Tiga macam hukum merokok tersebut, baik bersifat
general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn
Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin.
“Tidak ada hadits
mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di
antara para shahabat Nabi SAW. Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa
mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram
sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu
haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat
unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu
yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya
atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit
yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr.
Sekiranya terbebas
dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat
unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami
makruh hukumnya.”
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang
telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa
(hal.383-384) sebagaimana dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya
sebagai berikut:
Tentang tembakau…
sebagian ulama menghukumi halal karena memandang
bahwasanya tembakau
tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping
itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi…....Pada
dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang
memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya.
Sedangkan sebagian
ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat
mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi
infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof
Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167), sebagaimana
dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya sebagai
berikut:
“Masalah kopi dan
rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i
ditanya mengenai kopi,
lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan
tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk
yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau
haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab
Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari
madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban
tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang
santun lebih utama meninggalkan keduanya.”
Sebagaimana sudah kita ketahui, banyak di antara
Ulama atau Kiai NU yang merupakan perokok. Dan sebagian besar dari Ulama NU
mengatakan bahwa merokok hukumnya adalah makruh. Perbedaan pendapat NU dan Muhammadiyah
dalam masalah hukum merokok ini dikarenakan penetapan „illah atau alasan hukum yang
berbeda.
Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa kebiasaan
merokok sangat membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang disekitarnya,
karena racun yang dikandung dalam sebatang rokok sangat banyak dan berbahaya.
Maka, yang dipersoalkan oleh Ulama NU adalah, bahwa informasi (bukan bukti)
mengenai hasil penelitian medis tentang rokok adalah sangat detail sehingga
sekecil apa pun kemadharatan dalam hisapan tembakau menjadi terkesan lebih
besar.
KH Arwani Faishal mengatakan, apabila karakter
penelitian medis semacam itu kurang dicermati, kemudaratan merokok akan
cenderung dipahami jauh lebih
besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya,
kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya
dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal,
kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum makruh. Demikian halnya dalam menetapkan hukum merokok. NU menganggap rokok
memiliki kemudharatan yang kecil yang belum cukup untuk dijadikan dasar hukum
pengharaman.
Jika merokok haram, lalu bagaimana dengan
makanan-makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya, apakah juga haram? Kita
tahu, banyak makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis
dipandang
tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap
makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram,
ataukah harus dicermati
seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan
mubah, makruh ataukah
haram hukumnya.
"Sepertinya tidak dan belum akan ada
perubahan, hukumnya (rokok) tetap makruh," ujar Ketua PB NU Masdar Farid
Mas'udi, menjelang Muktamar NU ke-32 di Makasar 22-27 Maret 2010. Sementara
itu, sebagaimana dilansir NU Online, KH Saefuddin Amsir, ketua pimpinan sidang
Komisi Diniyyah Waqiyyah menyatakan tidak perlunya peninjauan kembali terhadap
hukum merokok karena tidak ada illat(alasan) baru yang menyebabkan perrubahan hukum.
Mengutip kaidah fiqh, ia menyatakan bahwa hukum itu
berubah sesuai dengan perubahan alasan. Demikian juga berlaku pada hukum
merokok.
Sementara itu menurut sekretaris komisi Bahtsul
Masail Diniyah Waqiiyah H M. Cholil Nafis merokok tetap dihukumkan makruh,
karena hal ini tidak berakibat
atau membahayakan secara langsung, juga tidak
memabukkan apalagi mematikan. Tidak ditinjau ulangnya hukum makruh merokok yang
ditetapkan NU bukan berarti NU menganggap remeh persoalan tentang bahaya rokok.
Tapi, lebih karena selain masyayikh NU sudah memfatwakan seperti itu, juga ada
faktor sosial lain yang melatarbelakangi, demikian Masdar Mas‘udi menjelaskan.
Dan NU tentu saja sepakat dengan menggalakkan kampanye tentang bahaya merokok
di Indonesia.
tanks atas informasinya
BalasHapusalhamdulillah .... penjeleasan khilafiah NU VS muhammadiah ini sangat strategis tuk diketahui oleh umat islam...agar lebih bijaksana menyikapi perbedaan pandangan yg salama ini terjadi... semoga penulis mendapat berkah Allah SWT. tulisan ini sebagai sedekah penulis tuk umat islam ....semoga pahala penulisan dilapangkan rizkinya oleh Allah SWT.
BalasHapusWaslm. Tono
sama - sama ...... makasih bnyak atas kunjungannya ...
BalasHapus