Rabu, 14 November 2012

BAGIAN III FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH


 A. FIQIH NU
Dalam struktur organisasinya NU memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuatu namanya Bahtsul Masail, yang berarti pengakajian terhadap masalah-masalah agama. Kita maklum, bahwa dari berbagai ilmu pengetahuan agama, fiqih merupakan pengetahuan yang dipandang penting, termasuk bagi ormas NU. Fiqih diposisikan sebagai ratu ilmu pengetahuan. Sebab fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Fiqih merupakan tuntunan praktis dalam mempraktekkan
agama dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal beribadah hingga berpolitik. Kedudukan fiqih sebagai unsur penting dalam membentuk struktur nilai dan pranata sosial ini, menempatkannya dalam posisi yang strategis bagi upaya perubahan. Maka untuk melakukan transformasi di lingkungan NU mesti dibarengi dengan transformasi tradisi pemikiran fiqih baik kerangka teoritis (ushul fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaidul fiqhiyah). Di sinilah posisi penting dari LBM, yakni untuk menjawab berbagai permasalahan keagamaan yang dihadapi warga Nahdhiyin. Munculnya lembaga ini karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (‗amaly) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail. Pada mulanya Bahtsul Masa'il dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muhkmatamar I sampai dengan Muhkmatamar XV (1926 - 1940). Namun karena keadaan yang kurang stabil berkaitan dengan meletusnya perang dunia II, maka pelaksanaan bahtsul masa‘il juga tersendat-sendat mengiringi tersendatnya Muktamar.
HM. Cholil Nafis, salah satu pengurus besar NU pernah menerangkan, bahwa dalam perkembangannya sebagai wadah ilmiah NU dalam mencari solusi setiap probleb hukum Islam yang dihadapi oleh masyarakat di bagi dalam tiga periode.
Pertama, periode tasis (pembentukan). Peride ini dimulai sejak berdirinya NU dan dipraktekkan setelah beberapa bulan berikutnya sampai tahun 1990-an. Pembentukan bahtsul masa‘il merupakan pelembagaan dan formalisasi kegiatan yang merupakan bagian dari proses pelaksanaan fungsi tradisional para kyai pesantren sebagai simbol otoritas keagamaan atas
permasalahan keagamaan aktual (masail diniyyah waqiiiyyah) yang diajukan
masyarakat atau pribadi yang menjadi unsurnya.
Kedua, periode tajdid (pembaharuan). Periode ini dimulai dengan keputusan Musyawarah Nasional tahun 1992 di Lampung yang memutuskan tentang metode pengambilan (istimbath) hukum untuk mengatasi kebuntuhan hukum (mauquf) karena tidak ada ibarat kitabnya, sampai tahun 2000-an. Dalam keputusan Munas tersebut, metode istimbath dibagi menjadi tiga tingkatan; metode istimbath qauli (termaktub ibarat kitab), metode ilhaqi (analogi masalah kepada masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam ibarah kitab) dan metode manhaji (menetapkan hukum dengan cara mengikuti metode imam mazhab tentang masalah yang tidak bisa dijawab oleh metode qauli dan ilhaqi).
Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh para pembaharu di dalam NU sendiri. Yang paling fenomenal adalah keputusan Munas NU di Lampung pada 1992 yang menegaskan keabsahan bermadzhab secara manhajy (metodologis). Keputusan ini bisa dianggap sebagai terobosan yang sangat berani karena memberikan peluang untuk tidak terikat, bermadzhab atau taqlid kepada putusan-putusan hukum hasil istimbath para Imam Madzhab. Para ulama NU hanya dituntut untuk tetap mempergunakan teori dan metodologi yang dikembangkan para imam tersebut. Bermadzhab secara manhajy merupakan jalan moderat bagi upaya mengakomodir berbagai perubahan di tengah masyarakat yang terjadi terus menerus. Ketika kondisi masyarakat sebagai obyek hukum mengalami perubahan maka fiqih juga dituntut melakukan perubahan agar ia tidak gagap memberikan jawaban-jawaban dari persoalan yang bermunculan akibat arus perubahan. Di sisi lain, dengan tetap mempertahankan metodologi para ulama terdahulu para mujtahid sekarang tidak mengalami keterputusan dengan khazanah intelektual masa lalu dan tidak perlu membuang tenaga untuk menyusun metodologi baru dari nol. Sebab, ternyata metodologi yang dibangun pada abad pertengahan tersebut dipandang masih mampu untuk menyediakan piranti inovasi dan pembaruan.
Periode Ketiga, yakni periode tashih wa taqnin (perbaikan dan legislasi).
Periode ini dimulai dengan proses pembersihan terhadap paham yang ekstrim, baik kanan maupun kiri yang menyusup ke tubuh organisasi NU dengan cara peneguhan Keputusan Munas Lampung 1992 tentang metode istimbath hukum dilingkungan NU dan ditolaknya konsep hermeneutika sebagai metode tawil dilingkungan NU pada Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donuhudan Jawa Tengah tahun 2004. Pada Muktamar itu juga dimulai pembahasan tentang kebijakan pemerintah dan undang-undang yang dibahas dalam komisi masail diniyyah qonuniyyah (masalah keagama perundang-undangan) tersendiri. Forum Bahtsul Masail tingkat Nasional sendiri sudah diadakan 42 kali, yang dimulai dari tahun 1926 sampai 2007. Namun karena ada beberapa Muktamar yang dokumennya tidak/belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV, maka berdasarkan dokumen yang dapat dihimpun, hanya ditemukan 36 kali bahtsul masail yang menghasilkan 536 keputusan. HM. Cholil Nafis mengklasifikasikan keputusan Lajnah Bahtsul Masail dalam dua kelompok.
Pertama adalah keputusan non-fiqih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah hukum praktis. Kedua adalah keputusan hukum fiqh, yakni yang berkaitan dengan hukum-hukum praktis (amaliy). Tetapi pada tahun 2000-an kebelakang keputusan-keputusan bahtsul masa‘il diklasifikasi menjadi tiga tema besar. Pertama, waqiiyah, yaitu membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang berkaitan dengan halal dan haramnya suatu masalah. Kedua, maudluiyah, yang membahas masalahmasalah aktual tematik yang perlu disikapi oleh warga nahdhiyin. Ketiga, qanuniyah, yaitu membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan respons NU terhadap kebijakan publik, undang-undang dan khususnya Rencangan Undang-Undang.
Dalam buku Antologi NU karya H. Soelaeman Fadelli dan Muhammad Subhan diterangkan tentang mekanisme kerja dari Lembaga Bahtsul Masail, yakni, sebagai berikut:

Pertama-tama semua masalah yang masuk ke lembaga diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota syuriah dan para pengasuh pondok
pesantren yang ada di bawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan
penelitian terhadap masalah itu dan dicarikan rujukan dari pendapat-pendapat
ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam
satu forum untuk saling beradu argumen dan dalil rujukan.
Dalam forum tersebut seringkali mereka hrus berdebat keras mempertahankan
dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dalil dasar yang paling kuat.
Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama, secara mufakat. Pada umumnya rujukan yang diambil oleh para Ulama NU mengikuti pendapat Imam Syafii. Hal ini karena madzhab Syafii paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafii tidak tersedia, maka pendapat ulama yang lain diambil, sejah masih dalam lingkungan madzhab yang empat (Syafii, Malilki, Hambali dan Hanafi). Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat para ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.

Dasar sikap NU untuk bermadzhab, menurut KH. Sahal Mahfudh, yang kini (2010) mantan Rais 'Aam Syuriah PBNU, sebagaimana dimuat di NU online, bahwa NU secara konsekuen telah menindaklanjuti sikapnya yakni dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal
al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dharuriyah (kebutuhan primer). Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukumsangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU. Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad, demikian Sahal Mahfudz melanjutkan tulisannya, maka para fuqaha terdahulu baik al a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah “al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad”, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen. KH. Syansuri Badawi, salah seorang Kiai dan pembesar NU,
mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur;an dan al-Hadist. Hal ini sejalah dengan pendapat Imam Syafi‘i bahwa ijtihad adalah qiyas. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka.
Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.
Ketika menghadapi masalah yang serius kekikian yang di masa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, maka Bahtsul Masail selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada para ahlinya. Di saat akan menjatuhkan hukum asuransi, misalnya, Lembaga Bahtsul Masail mengundang para praktisi asuransi. Begitu juga ketika akan membahas operasi kelamin,
Lembaga Bahtsul Masail juga mengundang mereka yangt erkait dengan masalah itu, seperti waria yang akan melakukan operasi, dokter yang akan menangani dan juga psikolog. Bahkan ketika akan membahas praktek jual beli emas sistem berantai gaya Gold Guest, LBM mengundang kepla sistem perwakilan Gold Quest untuk wilayah Asia. Mereka pun datang dan menjelaskan seluk beluk bisnis itu secara terbuka di depan para ulama. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning dan rujukanrujukan yang lain.

Aswaja
Aswaja adalah singkatan yang sudah sangat akrab di telinga warga NU, yakni Ahlsussunnah Wal Jama‘ah. Di sekolah-sekolah dan pondok pesantren NU biasanya terdapat pelajaran khusus tentang Aswaja.
Aswaja berasal dari tiga kata, yakni, Ahlun yang bearti golongan, keluarga atau pengikut. As-Sunnah yang artinya ajarah Rasulullah yang meliputi Sabda Rasul, perilaku dan ketetapan Rasulullah Saw. Sedangkan al-Jama‘ah mengandung beberapa arti, Jama‘ah para sahabat Nabi, Khulafaurrasyidin, as-Sawadul A‘dham (golongan Mayoritas Ummat Islam);
Jama‘ah kaum muslimin yang telah membaiat kepada Negara, para imam Mujtahid, pra pengikut Imam Abu Hasan al-Asy‘ari dan al-Maturidi dalam aqidah. Dengan demikian kaum Ahlussunah wal Jamaah adalah kaum yang menganut i‘toqad sebagaimana i‘tiwad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau.
Berpegangnya NU pada i‘tiqot Aswaja sangat kentara mempengaruhi hukum Islam yang difatwakan. Kita akan segara dapat memahami dan memaklumi pendapat-pendapat NU tentang masalah fiqh secara tahu ciri-ciri dari perilaku kaum ahlussunah wal Jama‘ah. Ciri-ciri tersebut, adalah:

a. Berpegang teguh pada kitab Allah dan Sunnah Rasul.

b. Pengikut setia dan pelestari sunnah-sunnah Rasul serta para Sahabat Rasul.

c. Mengikuti langkah dan fatwa para khulafaurrasyidin, juga para sahabat-sahabat Rasul.

d. Mengikuti dan melaksanakan ijma‘ para Ulama dalam masalah khilafah, memilih pendapat sawadil a‘dham (mayoritas); serta mengikuti imam madzhab sekiranya tidak mampu berijtihad/sendiri.

Untuk Phoin pertama dan kedua kami rasa tidak perlu dijabarkan lagi. Sementara untuk phoin ketiga dan keempat butuh penjelasan lebih jauh.  Kenapa NU memilih untuk mengikuti langkah dan fatwa para khulafaurrasyidin, juga para sahabat-sahabat Rasul? Dasarnya adalah hadist Rasulullah:

“Maka bahwasannya siapa yang hidup (lama) di antaramu niscaya akan melihat perselisihan (paham) yang banyak . ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan sunnah khalifah Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) yang diberi hidayah. Pegang teguhlah itu dan gigitlah dengan gerahammu
(HR. Imam Abu Dawud)
“Para sahabatku adalah ibarat bintang-bintang. Dengan siapapun di antara mereka, kamu sekalian mengikutinya, maka kamu akan mendapatkan petunjuk.” (HR. Baihaqi)

Kenapa NU memilih mengikuti dan melaksanakan ijma‘ memilih pendapat mayoritas? Dasarnya adalah hadist Rasulullah: ”Sesungguhnya ummatku tidak mungkin akan sepakat dalam kesesatan. Maka, bila kamu menemukan perselisihan, ikutilah golongan mayoritas. Juga al-Qur‘an surat an-Nisa‘ ayat 115:

Yang Artinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
 (Q.S. An-Nisa‘ : 155)

Aswaja juga menjadi merupakan paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep, salah satunya adalah moderat (tawasut), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Selain itu, NU juga memiliki banyak sekali tokoh yang seringkali pendapat-pendapatnya dijadikan rujukan oleh jamaah Nahdhiyin, meskipun tidak diijma‘kan dalam Bahtsul Masail. KH. Abdurrahman Wahid misalnya, beberapa kali mengeluarkan pendapat-pendapat seputar hukum Islam yang tidak jarang kontroversial dengan ulama NU yang lain.
NU juga memiliki Majalah Aula dan situs resmi di dunia maya, sebagai sarana untuk memberikan informasi-informasi seputar NU dan pendapat-pendapat NU dalam menanggapi suatu masalah, khususnya yang menjadi isu Nasional. Dalam situs dan majalah tersebut terdapat artikel dan tanya jawab seputar fiqh, yang ditulis dan asuh oleh para Ulama NU.

B. FIQIH MUHAMMADIYAH
Dalam tubuh Muhammadiyah terdapat satu lembaga yang khusus menanangi persoalan-persoalan yang menyangkut ibadah dan mu‘amalah. Lembaga tersebut bernama lembaga Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
Tarjih berasal dari kata ―rojjaha – yurajjihu- tarjihan―, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai -Matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhamadiyah- adalah membanding-bandingan pendapat dalam musyawarah dan kemudian
mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah melalui lembaga tarjih
Muhammadiyah (manhaj tarjih Muhammadiyah) menetapkan hukum di bidang
ibadah dan mu‘amalah menggunakan cara-cara istinbath hukum tersendiri yang khas, yaitu dengan menyusun praktik ibadah tersebut dalam bentuk
tuntunan ―Rasulullah, tanpa menyebut status hukum dari perbuatan, perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama ―Ijtihad’.
Menurut Ahmad Zain An Najah, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa‘idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah tahun 2000, yakni sebagai berikut :

a. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.

b. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.

c. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
d. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.

e. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya).

Manhaj Tarjih
Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat) adalah
sebagai berikut:

a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Quran dan al Sunnah al -
hohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang
taabbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad, termasuk
qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara
langsung.

Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad: Pertama, Ijtihad Bayani: yaitu (menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran ,Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan ―Khorojdan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin, dengan berdalil Q.S Al-Hasyr ayat 7-10.

Kedua, Ijtihad Qiyasi. Yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al- Quran maupun Hadist, diantaranya : meng-qiyas-kan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal )

Ketiga, Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll

b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jamai. Dengan
demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat. Manhaj ini sebagaimana halnya pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla‘ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla‘ Wilayatul Hukmi.

c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Quran dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.

Hal tersebut seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif
bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur‘an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai
organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut
―Madzhab Muhammadiyah―, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih ).

d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis
Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.

Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll.

e. Di dalam masalah aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan
di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa‘at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, (siroth) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini
ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.

f. Tidak menolak ijma sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma‘ dari segi
kekuatan hukum dibagi menjadi dua, pertama: ijma‘ qauli, seperti ijma‘ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur‘an dengan khot Utsmani, kedua : ijma‘ sukuti. Ijma‘ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma‘ dibagi menjadi dua : pertama : ijma‘ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma‘ setelah sahabat)

g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung taarudl, digunakan cara “al
jamu wa al taufiq“. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.
Cara-cara melakukan jama‘ dan taufiq, diantaranya adalah :

Pertama :
Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama‘ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS
Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddahorang hamil ,

Kedua :
Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama‘ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba‘da Ashar,

Ketiga :
Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya.

Keempat :
Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama‘ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masingmasing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.

h. Menggunakan asas “saddu al-dara”)untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
Saddu al dzara‘‘i adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

i. Men-talil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil
Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syareah. Adapun
qaidah: “ al hukmu yaduuru maa „ilatihi wujudan waadaman” dalam hal-hal
tertentu , dapat berlaku “
Ta‘lil Nash adalah memahami nash Al-Qur‘an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka‘bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara lakilaki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )

j. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )

k. Dalil –dalil umum al Quran dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. (Lihat keterangan dalam point ke 5 )

l. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir“
Di antara contohnya adalah: dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat)

m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Quran
dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang
dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki
kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.
Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode
al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banya menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia

n. Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk
tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.

o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.

p. Dalam memahani nash , makna dhahir didahulukan dari tawil dalam bidang
aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )

Dalam perjalanannya Majlis Tajrih mengalami perkembangan. Salah satunya adalah dengan penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan baru ,yaitu Pendekatan “Bayani” , “Burhani” dan “Irfani”. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan tersebut masih belum tuntas pembahasannya. Perjalan Majlis Tarjih yang sudah berdiri selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusikonstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.
Adapun cara-cara peng-istinbath-an hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah, sebagaimana ditulis Ma‘rifat Iman di antaranya sebagai berikut:

a. Nash yang qathi. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.

b. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara:

1) Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif mana  yang dianggap terkuat.

2) Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan (memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu:
a) Jarh (cela) itu didahulukan daripada tadil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut anggapan syara‘.
b) Riwayat orang yang telah terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela.

c) Pendapat sahabat akan perkataan musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima.
d) Penafsiran sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata yang tersurat itu yang diutamakan/diamalkan.

3) Jam’u, yaitu menjama‘ atau menggabung atau menghimpun antara kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis ahad yang shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat.

c. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat.
Dalam hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan.

2. Bermadzhab dalam Pandangan NU dan Muhammadiyah
Pembahasan tentang madzhab dalam pandangan NU dan Muhammadiyah agaknya perlu untuk dipertegas. Hal ini penting mengingat pandangan tentang madzhab akan sangat memperngaruhi pengistimbatan hukum yang dilakukan oleh dua ormas tersebut. Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU yang mengaku berhaluan ahlus sunnah wal jamaah dalam bidang fiqih terang-terangan bermadzhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali. Apabila dalam suatu masalah tidak ditemukan
jawaban dari empat madzhab tersebut maka baru dilakukan ijtihad. Di sisi lain, Muhammadiyah bersikap untuk tidak bermadzhab. Muhammadiyah menyatakan padangannya bahwa pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi ―Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur‘an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat, Dari sana dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu, akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para Imam-Imam madzhab.
Namun, bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur‘an dan as- Sunnah
ash-Shahihah. Muhammadiyah berpendapat bahwa pendapat para Imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Menurut Muhammadiyah apa yang menjadi pandangannya, yakni melaksanakan agama dengan bersumber langsung pada al-Qur‘an dan as-Sunnah telah sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

“Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.

Dan juga, apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Auzai dan Imam ats-Tsauri. Namun, ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu Al-Quran dan As-Sunnah)”.
Singkatnya, demikian di tulis dalam Tanya jawab masalah Agama di Majalah Suara Muhammadiyah, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak menghormati pendapat para Imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi, sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Inilah perspektif, pandangan, atau pendapat. Perbedaan sangat niscaya. Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak mengikuti madzhab merupakan usaha untuk menghormati imam Fuqoha, maka NU berpandangan lain. NU tidak menganggap bahwa bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhya taklid.
Pengertian taklid, menurut ormas tradisionalis ini, hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta
tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari
dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, Kiai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari
dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.
NU berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'i. Jadi, menurut NU, bermadzahab juga ada tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
NU juga sering mendasarkan pandangannya dengan dasar ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya.
Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:

1. Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?

2. Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Meski NU banyak mendasarkan pandangan fiqihnya pada madzhab empat, tetapi NU juga tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad di sini diartikan dengan usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari
al-Quran dan atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang
sharih, jelas, tegas, atau qath'i, pasti.
Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'i dalam al-Quran dan atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.
Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip ahlus sunnah wal jamaah ini menegaskan bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak,
tetapi pada pokoknya adalah:

1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.

2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencaricari
argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.

NU memandang akan sangat sulit dan sedikit orang yang mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu, NU sebenarnya tidak memaksa kaumnya untuk bertaklid / bermadzhab tetapi memberi dua alternatif:

1. Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan.

2. Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau bermadzhab atau bertaklid, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan memang menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukan taklid, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Kiai Nuril Huda, seorang tokoh NU, penah menulis, bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.
Allah SWT berfirman :
Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada
sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudahmudahan mereka itu takut” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti”  (An-Nahl: 43)

Lalu kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih. Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur‘an, As-Sunnah, Al-Ijma‘ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan.
Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur‘an dan
As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‘an :
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para
Ulama. (Fathir: 28)

Menurut pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk menempuh jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan taqlid buta, atau taqlid
kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan itu selalu ada.
Judul: BAGIAN III FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH; Ditulis oleh Salim Ibrahim; Rating Blog: 5 dari 5

2 komentar:

  1. Visi misi Muhammadiyah yang dicantumkan pada catatan di atas salah. Mohon bisa diluruskan. lihat: www.muhammadiyah.or.id.

    BalasHapus